Minggu, 17 November 2013

POLITIK PENDIDIKAN



RESUM 3
Disusun guna memenuhi tugas:
Mata Kuliah                : Strategi Belajar Mengajar
Dosen pengampu        : Chusna Maulida, M. Pd. I




Oleh:
MAYDA AR RAHMAH
2021 111 272

Kelas: C





TARBIYAH PAI
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN) PEKALONGAN
2013

IDENTITAS BUKU
Judul               : Politik Pendidikan: Dinamika Hubungan antara Kepentingan Kekuasaan dan Praktik Penyelenggaraan Pendidikan
Pengarang       : M. Sirozi, Ph.D
Penerbit           : PT. Raja Grafindo Persada, 2007
268 hlm.  21 cm




















BAB I
HUBUNGAN POLITIK DAN PENDIDIKAN
Pendidikan dan politik adalah dua elemen penting dalam sistem sosial politik di setiap negara, baik negara maju maupun negara berkembang. Keduanya sering dilihat sebagai bagian-bagian yang terpisah, yang satu sama lain tidak memiliki hubungan apa-apa. Padahal, keduanya bahu-membahu dalam proses pembentukan karakteristik masyarakat di suatu negara. Lebih dari itu, keduanya satu sama lain saling menunjang dan saling mengisi. Lembaga-lembaga dan proses pendidikan berperan penting dalam membentuk perilaku polyik masyarakat di negara tersebut. Begitu juga sebaliknya, lembaga-lembaga dan proses politik di suatu negera membawa dampak besar pada karakteristik pendidikan di negara tersebut.
Di dunia Islam, keterkaitan antara pendidikan dan politik terlihat jelas. Sejarah peradaban Islam banyak ditandai oleh kesunggguhan para ulama dan umara dalam memperhatikan persoalan pendidikan dalam upaya memperkuat posisi sosial politik kelompok dan pengikutnya.
Selain faktor religius bahwa agama Islam sangat menjunjung aktivitas kependidikan, perhatian besar para pemimpin Islam terhadap masalah pendidikan didorong oleh besarnya peran lembaga-lembaga pendidikan dalam penyampaian misi politik. Pendidikan sering dijadikan media dan wadah untuk menanamkan ideologi negara atau tulang yang menopang kerangka politik.
Islam adalah agama yang totaliter jam’i, mencakup semua aspek kehidupan seorang Muslim dari makan dan minum, tata cara berumah tangga, urusan sosial kemasyarakatan, sampai pada ibadat yang semuanya diatur oleh Syari’at. Untuk mengetahui bagaimana hidup yang Islami, seorang Muslim mesti terlibat dengan kegiatan pendidikan. Kedua, karena motivasi politik, sebab di dalam Islam antara politik dan agama sulit untuk dipisahkan. Para penguasa Muslim sering menjadikan kekuasaan sebagai alat untuk menanamkan paham-paham keagamaan.

Pendidikan dan Sikap Kelompok
Dalam banyak kasus, hubungan kekuasaan antar berbagai kelompok masayarakat banyak dipengaruhi oleh kesempatan belajar dan intensitas respons mereka terhadap pendidikan Barat. Kelompok masyarakat yang merasa tertekan dan menjadi korban imperialisme budaya cenderung menginginkan sistem pendidikan secara terpisah, dalam rangka melindungi identitas kelompok mereka.
Pendidikan dan Dunia Kerja
Pendidikan dan dunia kerja memiliki hubungan yang sangat kompleks. Salah satu inovasi paling radikal yang disebabkan oleh pendidikan adalah meningkatnya ambisi pribadi. Masalah pengangguran menjadi ujian penting bagi pemerintah di negara-negara berkembang. Mereka dituntut untuk mengimbangi keberhasilan pendidik dengan ketersediaan lapangan kerja. Di satu pihak, ekspansi pendidikan turut serta melahirkan instabilitas karena pendidikan melahirkan tuntutan yang seringkali tidak dapat dijawab oleh sistem politik. Di pihak lain, tersedianya pendidikan yang cukup di semua jenjang adalah persyaratan yang diperlukan untuk menciptakan stabilitas politik. Hanya dengan sumber daya manusia yang terlatih dan kesempatan kerja yang memadai pemerintah dan birokrasinya dapat memenuhi tuntunan publik, dan hanya publik yang terdidik yang dapat diminta turut serta bertanggung jawab dalam pembangunan bangsa (nation-building).  Keterkaitan antara pendidikan dan politik berimplikasi pada semua dataran, baik pada dataran filosofis maupun dataran kebijakan.
Pada gilirannya, implementasi dari suatu kebijakan pendidikan berdampak pada kehidupan politik. Berbagai kebijakan pendidikan berdampak pada kehidupan politik. Berbagai kebijakan berdampak langsung pada akses, minat dan kepentingan pendidikan para stakeholder pendidikan, terutama orangtua dan peserta didik, dan masyarakat pada umumnya.
Format Hubungan
Hubungan antara politik dengan pendidikan terwujud ke dalam bentuk yang berbeda-beda, sesuai karaketeristik setting sosial politik dimana hubungan itu terjadi. Bentuk hubungan tersebut berbeda-beda dari satu masyarakat ke masyarakat yang lain.
Dalam masyarakat yang lebih maju dan berorientasi teknologi, dan mengadopsi nilai-nilai dan lembaga Barat, pola hubungan antara pendidikan dan politik berubah dari pola tradisional ke pola modern.
Di dalam masyarakat modern umumnya, pendidikan adalah komoditi politik yang sangat penting. Proses dan lembaga-lembaga pendidikan memiliki aspek dan wajah politik yang banyak, serta memiliki beberapa fungsi penting yang terdampak pada sistem politik, stabilitas dan praktik sehari-harinya.
Jika politik dipahami sebagai “praktik kekuatan, kekuasaan, dan otoritas dalam masyarakat dan pembuatan keputusan-keputusan otoritatif tentang alokasi sumber daya dan  nilai-nilai sosial” (Harman, 1974:9), maka jelaslah bahwa pendidikan tidak lain adalah sebuah bisnis politik. Semua lembaga pendidikan, baik pemerintah maupun non pemerintah, dalam batas-batas tertentu tidak terlepas dari bisnis pembuatan keputusan-keputusan yang disertai otoritas dam yang dapat diberlakukan.
Perkembangan di Indonesia
Di Indonesia, kepedulian terhadap hubungan pendidikan dan politik sudah mulai berkembang dalam wacana publik walaupun belum menjadi satu bidang kajian akademik. Berbicara dalam konteks Indonesia, Buchori percaya bahwa “poor education is one source of the country’s crisis” (pendidikan yang tidak bermutu adalah salah satu sumber krisis di negeri ini). Dia menjelaskan lebih jauh bahwa “the crisis now facing the nations [Indonesia] stems from an accumulation of innappropriate or wrong political decisions generated in the past” (krisis yang saat ini sedang melanda bangsa ini [Indonesia] bersumber dari akumulasi keputusan-keputusan politik yang tidak tepat yang terjadi pada masa lalu). Dia menambahkan; “Pada masa lalu kita mempunyai generasi pemimpin politik yang membawa bangsa ini pada kemerdekaan. Akan tetapi, akhirnya kita melihat suatu generasi yang membuat keputusan-keputusan politik yang menyesatkan.
Ketika ditanya apakah politik harus memasuki wilayah pendidikan atau sebaliknya, Buchori mengatakan bahwa para mahasiswa harus belajar tentang tanggung jawab warga negara (civic responsibility). Dia menegaskan “Inilah yang saya maksud dengan ketidakterpisahan antara politik dan pendidikan”. Para mahasiswa lanjutnya, tidak boleh acuh tak acuh terhadap segala sesuatu yang berlangsung di luar lingkungan perguruan tinggi. Ia meneyimpulkan “Kita tidak akan pernah bisa lari dari politik. Politik adalah realitas kehidupan. Mari berpolitik secara bijak.
Dari pemikiran tersebut dapat ditarik beberapa pemahaman. Pertama, adanya kesadaran tentang hubungan erat antara pendidikan dan politik. Kedua, adanya kesadaran akan peran penting pendidikan dalam menentukan corak dan arah kehidupan politik. Ketiga, adanya kesadaran tentang adanya pemahaman tentang hubungan antara pendidikan dan politik. Keempat, diperlukan pemahaman yang lebih luas tentang politik. Kelima, pentingnya pendidikan kewarganegaraan (civic eduations).


















BAB II
FUNGSI POLITIK INSTITUSI PENDIDIKAN
Hubungan antara pendidikan dan politik bukan sekedar hubungan saling mempengaruhi, tetapi juga hubungan fungsional. Lembaga-lembaga dan proses pendidikan menjalankan sejumlah fungsi politik yang signifikan. Mungkin yang terpenting dari fungsi-fungsi tersebut bahwa sekolah-sekolah dan lembaga pendidikan lainnya menjadi agen-agen sosialisasi politik.
Institusi Pendidikan Sebagai Alat Kekuasaan?
            Berbagai institusi pendidikan yang ada dalam masyarakat dapat berfungsi sebagai alat kekuasaan dalam upaya membentuk sikap dan keyakinan politik yag dikehendaki. Berbagai aspek pembelajaran, terutama kurikulum dan bahan-bahan bacaan, seringkali diarahkan pada kepentingan politik tertentu. Eliot (1959:1046) menulis sebagai berikut:
Althought political power is centered in groups and individuals, its effectiveness and use are shaped by institutions. The institutional patter af public education may seem firmly fixed, firmly enough, certainly, so that any proposal, to have a chance of succes, must appear to conform to it (Walaupun kekuasaan politik terpusat pada berbagai kelompok dan individu, efektivitas dan kegunaannya dibentuk oleh berbagai institusi. Pola institusional pendidikan publik mungkin saja tampak kokoh, cukup mantap, sehingga untuk dapat berhasil, setiap proposal perlu menyesuaikan diri dengannya)
 Di banyak negara totaliter dan negara berkembang, pemimpin politik sangat menyadari fungsi pendidikan dalam mencapai tujuan-tujuan politik. Dari generasi ke generasi pemimpin politik telah menyadari dampak yang dapat ditimbulkan oleh sistem pendidikan terhadap kehidupan politik. Mereka menyadari bahwa negara tidak dapat mengabaikan sekolah jika ingin mencapai tujuan-tujuannya, termasuk tujuan untuk mempertahankan kekuasaan. Stabilisasi atau transformasi politik banyak ditentukan oleh faktor pendidikan.



Sosialisasi Politik atau Politisasi
Salah satu jalan yang menghubungkan sekolah dan politik, kata Massialas (1969: 155) adalah melalui sosialisasi politik anak-anak dan para pemuda. Sekolah dengan berbagai perangkatnya; kurikulum, buku-buku teks, metode pengajaran, guru, siswa, danstaf administrasi lainnya, bisa saja secara eksplisit maupun implisit terkait dengan orientasi transmisi orientasi politik dasar terhadap lingkungan. Orientasi politik dasar, tandas Massialas (1969: 155), bisa bersifat cognitive, afektif, dan relatif.
Sosialisasi politik diperlukan, baik untuk mempertahankan maupun untuk menggerogoti kekuasaan. Untuk mempertahankan suatu sistem politik, harus ada dukungan yang cukup dari warga negara. Dukungan atau kritik terhadap suatu sistem yang diberikan oleh agen-agen sosialisasi, seperti keluarga, gereja atau masjid, kelompok sebaya (peer group), dan sekolah. Dengan menekankan hak dan privilese mereka sebagai warga negara, ketimbang tugas-tugas dan kewajiban mereka, sekolah dapat menstimulasi para pemuda untuk mengorganisasi dan mengartikulasikan keinginan tertentu terhadap pemerintah dalam banyak tuntutan.
Secara lebih luas, sosialisasi politik melalui proses pendidikan dapat memengaruhi stabilitas dan transformasi sistem politik. Pengaruh ini dapat dilihat dari beberapa transformasi politik yang besar dimana perhatian utama para pemimpin untuk mempertahankan ideologi dan agenda politiknya adalah mengontrol sistem pendidikan. Ketika sistem politik mengalami transformasi radikal, langkah awal yang ditempuh oleh para penguasa yang baru adalah segera mengubah sistem pendidikan. Para penguasa baru tersebut memaklumi bahwa keberhasilan dan konstinuitas rezim mereka sangat terkait dengan ide-ide dan pola perilaku yang ditransmisikan melalui fasilitas pendidikan.
Orientasi Dasar Politik
Orientasi dasar politik (basic political orientation), menurut Easton (1957:311-12), mencakup tiga elemen utama. Pertama, objek politik (political object) atau kesan yang dipersepsikan (perceived images). Karena kita tidak dapat bertindak dalam kevakuman, maka manakala kita melakukan tindakan politik kita harus mengarahkan diri kita pada objek politik tertentu.
Kedua, nilai-nilai (values) atau kesan yang diinginkan (desired images). Mengetahui kesan yang diinginkan sama dengan halnya dengan pencarian satu aspek sistem kepercayaan dalam sistem politik. Ketiga, sikap politik (political attitude). Anggota-anggota dari suatu sistem memperlihatkan beragam sikap terhadap objek-objek politik.
Bagi Easton, tiga orientasi dasar politik di atas tidak diperoleh secara terpisah selama proses politisasi. Ketiganya satu sama lain saling terkait. Kesan yang dipersepsikan oleh individu tertentu tentang orang-orang, praktik, dan institusi akan dibentuk secara bersama oleh apa yang kehendaki dan sikap-sikap yang diekspresikannya terhadap objek-objek politik. Institusi-institusi pendidikan memainkan peranan penting dalam menentukan ketahanan, integrasi dan perubahan sistem politik, karena proses pendidikan dapat membentuk jenis-jenis orientasi dasar yang dimiliki oleh individu.
Institusi-institusi pendidikan, walaupun pada awalnya didesain untuk menjalankan fungsi-fungsi pendidikan semata, dalam perkembangannya bisa saja menjalankan fungsi-fungsi politik tertentu, baik disadari maupun tidak disadari oleh para pengelolanya. Ada tiga alasan utama untuk hal ini. Pertama, karena keberadaan dan perkembangan institusi pendidikan tidak terlepas dari dinamika sosial politik masyarakat di lingkungannya. Kedua, karena kuatnya kecenderungan para politisi untuk mengeksploitasi peran institusi pendidikan untuk kepentingan politik. Ketiga, karena para pengelola sekolah pada dasarnya juga adalah para politisi yang senantiasa dihadapkan pada dinamika internal maupun eksternal.








BAB III
KONTROL NEGARA TERHADAP PENDIDIKAN
Sebagai suatu proses yang banyak menentukan corak dan kualitas kehidupan individu dan masyarakat, tidak mengherankan apabila semua pihak memandang pendidikan sebagai wilayah strategis bagi kehidupan manusia sehingga program-program dan proses yang ada di dalamnya dapat dirancang, diatur dan diarahkan sedemikian rupa untuk mendapatkan output yang diinginkan. Banyak negara yang menempuh segala cara untuk mengontrol berbagai jalur, jenis, dan jenjang pendidikan yang berkembang dalam masyarakatnya. Memperketat birokrasi memperbanyak peraturan perundang-undangan, mendikte kurikulum, menerapkan sistem akreditasi, dan membuat skema subsidi merupakan beberapa cara yang sering digunakan oleh suatu negara dalam upaya mengontrol aktivitas pendidikan masyarakat.
Negara dan Perangkatnya
Apa itu negara? Dalam wacana sehari-hari ada kerancuan pemahaman tentang konsep negara. Ada sebagian anggota masyarakat yang mengidentikkan negara dengan pemerintah, padahal tidaklah demikian halnya. Pemahaman seperti ini jelas-jelas mengaburkan konsep tentang negara. Menurut Dale (1989:4), negara bukanlah pemerintah dan pemerintah hanyalah salah satu bagian dari negara. Memang tidak dapat dipungkiri bahwa pemerintah adalah bagian dari negara yang paling kasat mata dan dapat juga menjadi bagian paling penting dan paling efektif dari negara, tetapi pemerintah bukanlah keseluruhan dari negara. Negara terdiri dari berbagai institusi yang masing-masing memiliki fungsi dan peran tersendiri dalam tatanan kehidupan kenegaraan.
Semua institusi negara memiliki keterikatan dengan publik. Secara ideal, semuanya dirancang dan diarahkan untuk mewujudkan peran negara, menurut Dale (1989:53), adalah “untuk memediasi negara dan subjeknya satu sama lain”. Dalam menjalankan perannya, berbagai institusi negara baik pada tingkat lokal maupun nasional, didanai oleh publik. Inilah antara lain alasan mengapa salah satu fungsi ideal negara yang terpenting adalah memberikan pelayanan publik (to serve the lie public).
Mengembangkan satu sistem pendidikan adalah salah satu langkah penting yang diambil oleh negara-negara modern sebagai upaya untuk dapat mengontrol dan keluar dari krisis motivasi tersebut. Dengan mengemban nilai-nilai, ideologi, dan kepentingan-kepentingan negara, banyak sistem pendidikan telah memberikan kontribusi yang signifikan pada negara dalam upayanya mengatasi krisis motivasi tersebut. Berbagai sistem pendidikan mampu secara signifika memberi kontribusi dalam bentuk solusi yang memuaskan terhadap krisis motivasi yang melanda banyak negara.
Kontrol terhadap Pendidikan
Sudah menjadi kenyataan sejarah bahwa selalu saja ada ketegangan permanen antara perangkat negara yang birokratis dan substansi dari aktivitasnya. Ketegangan tersebut menghasilkan sejumlah pertanyaan yang dapat diberikan melalui pendidikan sebagai suatu perangkat negara. Inilah alasan penting mengapa pendidikan begitu berarti bagi suatu negara. Ini juga alasan penting mengapa suatu negara akan melakukan berbagai upaya untuk mengontrol sistem atau praktik kependidikan yang ada di negara tersebut.
Menurut Dale (1989: 39-43), kontrol negara terhadap pendidikan umumnya dilakukan melalui empat cara. Pertama, sistem pendidikan diatur secara legal. Kedua, sistem pendidikan dijalankan sebagai birokrasi, menekankan ketaatan pada aturan dan objektivitas. Ketiga, penerapan wajib pendidikan (compulsory education). Keempat, reproduksi politik dan ekonomi yang berlangsung di sekolah berlangsung dalam konteks politik tertentu.
Salah satu fungsi sistem pendidikan di banyak negara adalah menghasilkan pengetahuan teknis/adminstratif yang pada akhirnya diakumulasi oleh kelompok-kelompok dominan yang digunakan dalam mengontrol ekonomi, politik, dan budaya. Selain mereflesikan ideologi pendidikan para penguasa negara, berbagai laporan dan peraturan kependidikan yang dibuat oleh negara juga mereflesikan jalur, bentuk, dan skala kontrol negara terhadap dunia pendidikan.

Berbagai tindakan negara, khususnya dalam bidang peraturan perundang-undangan, sangat signifikan terhadap pendidikan dan memiliki dampak krusial terhadap perkembangan pendidikan. Berbagai tuntutan perubahan terhadap dunia pendidikan tidak akan banyak artinya jika tidak menyentuh berbagai peraturan perundang-undangan yang mengisi substansi dari tuntutan-tuntutan tersebut. Meningkatkan partisipasi masyarakat dalam program pendidikan tidak mungkin berhasil jika hanya dilakukan dengan menjelaskan makna, manfaat, dan tujuan pendidikan. Masyarakat harus diperkenalkan dengan berbagai peraturan perundangan-undangan yang mengatur dunia pendidikan dan dibiasakan untuk sensitif dan kritis terhadap berbagai peraturan perundang-undangan tersebut.
Pendidikan sebagai Fungsi Negara
Dengan kontrol yang kuat terhadap kebijakan-kebijakan dan praktik-praktik pendidikan, maka tidaklah sulit bagi negara untuk memposisikan pendidikan sebagai fungsi negara. Fungsi ini dapat dilihat pada eratnya keterkaitan antara elemen-elemen pendidikan publik di satu negara dengan prinsip-prinsip yang berlaku di negara terseut. Singkat kata, ada kaitan erat antara pendidikan publik dan negara.
Keterkaitan tersebut digambarkan dengan jelas oleh Eliot (1959:1049) ketika dia menulis: “public education is a state function, and school districts are creatures of the state” (pendidikan publik adalah sebuah fungsi negara dan sekolah-sekolah yang ada di berbagai daerah adalah kreasi negara).
Untuk memahami pendidikan sebagai fungsi negara, diperlukan pengenalan terhadap berbagai tuntutan yang saling bertentangan yang ditempatkan padanya. Namun yang terpenting, tentang saja, diperlukan pemahaman tentang apa itu negara (state).






BAB IV
PROSPEK KAJIAN POLITIK PENDIDIKAN
Sebagai suatu bidang kajian yang relatif baru dan merupakan pengembangan dari bidang kajian yang telah mapan (established), yaitu kajian politik dan kajian pendidikan, kelayakan politik pendidikan (the politics of education) sebagai suatu kajian banyak dipertanyakan, baik oleh sarjana ilmu politik maupun oleh para sarjana ilmu pendidikan. Mereka secara kritis memperanyakan kelayakan bidang kajian baru ini dari segi metodologis, fokus, dan manfaatnya. Sikap kritis tersebut menyebabkan lambatnya pengakuan terhadap politik pendidikan sebagai suatu bidang kajian tersendiri yang terpisah dari disiplin induknya. Sebelum mendiskusikan signifikansi, relevansi, dan prospek kajian politik pendidikan, pada bagian ini terlebih dahulu akan dijelaskan beberapa pengertian yang berkembangdi seputar kajian politik pendidikan.
Wacana Politik Pendidikan
Pemahaman dan penjelasan para penulis tentang politik pendidikan cukup beragam, baik dalam pengguanaan kata-kata maupun dalam substansi.menurut Archer (1985:39), politik pendidikan (the politics of education) harus dibedakan dengan politik kependidikan (educational politics). Ia menjelaskan bahwa istilah educational politics mencakup semua interaksi sosial yang memengaruhi pendidikan. Jika politik pendidikan membicarakan aspek-aspek politik dan pendidikan, politik kependidikan adalah “upaya-upaya (sadar dan terorganisasi) untuk memengaruhi input, proses, dan output pendidikan, baik melalui legislasi, kelompok penekan atau aksi politik, eksperimentasi, investasi pribadi, transaksi lokal, inovasi internal atau propaganda”.
Perkembangan Kajian Politik Pendidikan
Perhatian para sarjana terhadap hubungan antara pendidikan dan politik relatif masih baru. Menurut catatan Mitchell, aplikasi analisis politik terhadap studi kependidikan sepenuhnya terabaikan sebelum tahun 1950-an. Walaupun selama lebih dari dua ribu tahun para filosof, mahasiswa politik, dan pendidik telah mendiskusikan dan berargumentasi tentang hubungan antara keduanya. Plato dan Aristoteles, misalnya, sangat sensitif terhadap peran yang dimainkan oleh pendidikan dalam berbagai masalah kenegaraan. Mereka telah  memberikan kontribusi penting dalam perkembangan filsafat politik tentang peranan pendidikan.
Perkembangan kajian politik pendidikan banyak dipengaruhi oleh persepsi para pendidik terhadap politik dan karakteristik sistem politik yang berlaku. Perkembangannya dipicu oleh sistem politik yang semakin terbuka dan pemahaman bahwa politik adalah bagian tak terpisahkan dari proses alokasi nilai-nilai dalam masyarakat. Pemahaman ini pertama kali diperkenalkan oleh salah seorang penggagas Teori Sistem, David Easton (1965), dalam karyanya tersebut Easton (1965:50) menjelaskan bahwa politik adalah “authoritativeallocation of values which have become widely desired and the explicit goals of public policy” (alokasi otoritatif dari nilai-nilai yang dikehendaki secara luas dan merupakan tujuan-tujuan eksplisit kebijakan publik).
Minat Kajian Politik Pendidikan
Meskipun keterkaitan antara pendidikan dan politik memiliki sejarah yang panjang, secara umum dapat dikatakan bahwa perhatian para ilmuwan politik terhadap persolan-persoalan kependidikan dan perhatian para ilmuwan politik terhadap aspek-aspek politik pendidikan berkembang sangat lamban. Pada 1957, salah seorang ilmuwan politik terkemuka asal Amerika Serikat, David Easton, mengungkapkan ketidakpuasannya terhadapketidakpedulian para ilmuwan politik terhadap isu-isu kependidikan: “Lebih dari dua ribu tahun yang lalu [pada era Plato dan Aristoteles] pendidikan menduduki posisi penting dalam pemikiran politik; sekarang, dalam ilmu politik secara keseluruhan, perhatian terhadap persoalan pendidikan telah lenyap” (1965:304).
Berkembang atau tidaknya minat para ilmuwan politik untuk mengkaji persoalan pendidikan tampaknya juga dipengaruhi oleh sistem pendidikan yang berlaku dan tingkat kepekaan masyarakat terhadap masalah-masalah kependidikan. Dalam disiplin ilmu pendidikan, salah satu alasan kurangnya minat terhadap politik pendidikan adalah karena para peneliti pendidikan tidak tertarik pada penyelenggaraan kegiatan persekolahan dalam konteks sosial yang lebih luas. Sebagian besar mereka hanya membatasi riset-riset mereka pada persoalan-persoalan yang ada di ruang kelas.
Perkembangan politik pendidikan sebagai bidang penelitian dan pengajaran adalah fenomena menarik karena beberapa alasan. Pertama, hal itu menandakan perubahan fundamental yang telah dan terus terjadi dalam ilmu-ilmu politik dan studi kependidikan. Selain terjadi kecenderungan terus-menerus dalam spesialisasi riset, telah timbuh pula kesadaran dalam ilmu-ilmu sosial dan dalam ilmu pendidikan tentang keterkaitan antara institusi-institusi dan proses-proses sosial. Perkembangan minat terhadap politik pendidikan di banyak negara juga terkait dengan perkembangan perhatian publik dan kerusuhan tentang pendidikan dan problem sosial terkait, semuanya telah memberi kontribusi dalam menjadikan pendidikan menjadi isu besar dalam politik dan menarik perhatian ilmuwan politik dan para pendidik terhadap masalah-masalah kependidikan.
Fokus dan Manfaat Kajian
Sebagai suatu bidang akademik yang perkembangannya relatif baru, kajian politik pendidikan tertinggal jauh dari kajian bidang lain. Ketertinggalan ini terjadi dimana-mana, bahkan di Amerika, dimana kajian ilmiah dalam berbagai bidang berkembang sangat pesat. Namun demikian, harus diakui bahwa kajian politik pendidikan telah berkembang sangat pesat, dengan dua fokus utama, yaitu fungsi-fungsi politik pendidikan dan aspek-aspek pendidikan dan politik.
Salah satu tugas utama kajian politik pendidikan, menurut Easton (1957:305), adalah mengungkapkan cara-cara yang digunakan oleh kelompok-kelompok kependidikan (educational groups) dalam upaya mereka untuk menciptakan lingkungan yang kondusif bagi pertumbuhan dan perkembangan mereka dan untuk memaksimalkan alokasi dana dari pemerintah untuk mereka. Dalam kaitan ini, Easton (1957:305) menambahkan, studi politik pendidikan juga diharapkan dapat mengungkapkan cara-cara yang ditempuh oleh pemerintah dalam menggunakan pendidikan sebagai alat untuk memperkuat posisinya dan untuk mempersatukan masyarakat. Dengan fokus kajian tersebut, lanjut Easton, kajian politik pendidikan akan dapat juga mengungkapkan peranan yang dimainkan oleh pendidikan dalam persaingan kekuasaan (competition for power), baik secara internal maupun esksternal. Menurut Easton, diantara berbagai institusi dan praktik yang secara signifikan mempengaruhi transformasi sistem politik adalah pendidikan. Salah satu tujuan penelitian politik pendidikan, menurutnya, adalah bagaimana signifikansi peran pendidikan dalam transformasi politik.
Menurut Harman (1974:1), studi politik pendidikan dapat meningkatkan pemahaman kita tentang kehidupan politik, tentang berbagai proses dan lembaga pendidikan, dan tentang interaksi antara pendidikan dan politik dalam masyarakat yang berbeda-beda. Selain itu lanjutnya, studi tentang politik pendidikan juga dapat memudahkan kita dalam menangani berbagai persoalan krusial yang ada dalam dunia pendidikan, baik di negara-negara industri maupun di negara-negara berkembang.
Dalam studinya tentang relasi negara dan pendidikan di negara-negara kapitalis, Dale (1989: ix) mengatakan bahwa “studi tentang relasi antara negara dan pendidikan dapat membantu memahami kaitan antara berbagai kebutuhan dunia industri dan isu-isu praktis keseharian di sekolah”.
Problem Pengakuan
Sebagaimana bidang kajian lainnya, politik pendidikan memberi banyak tantangan dan kemungkinan, tetapi juga menghadapi sejumlah masalah. Pada masa awal perkembangannya, politik pendidikan mengahadapi dua masalah yang saling terkait. Pertama, mendapatakan pengakuan sebagai satu bidang kajian, baik dalam ilmu politik maupun dalam ilmu pengetahuan. Kedua, perkembangan sense of identity dan community sesama sarjana yang terlibat dalam penelitian dan pengajaran bidang ini. Salah satu penghambat bagi adanya pengakuan terhadap keontetikan kajian politik pendidikan pada masa awal perkembangannya, menurut Harman (1974), adalah konservatisme di kalangan ilmuwan. Dia menjelaskan bahwa mendaptkan pengakuan dalam disiplin-disiplin yang sudah established bukanlah hal yang mudah bagi sebuah bidang kajian baru, karena selalu saja ada vested interest yang akan terganggu. Dari dua problem tersebut, menurut Harman (1974: 19-20), problem kedua tampaknya lebih banyak menghambat perkembangan politik pendidikan sebagai satu bidang kajian. Problem pertama lebih mudah diatasi jika problem kedua teratasi.
Tantangan Kedepan
Setelah mengalami masa perkembangan yang cukup berarti, hambatan-hambatan di atas berangsur-angsur dapat diatasi. Namun demikian, hambatan-hambatan barus terus bermunculan dan menghambat para guru dan administratur pendidikan untuk lebih mendalami aspek-aspek dan dimensi politik pendidikan dan menghambat upaya-upaya untuk memahami tekanan-tekanan dan realitas politik yang baru. Hambatan-hambatan baru tersebut, menutut Harman (1980:4), meliputi:
1.      Problem Makna (the problem of meanings)
Persoalan makna tampaknya akan selalu muncul dalam wacana politik pendidikan dan dapat menghambat pemahaman tentang hubungan antara pendidikan dan politik. Menurutnya, tidak ada solusi riil bagi masalah makna ini, khususnya apabila kata kunci tersebut digunakan dengan pengertian populer dan teknis yang berbeda-beda. Namun kita bisa mengetahui bahwa masalah makna ini ada dan dapat menghambat komunikasi. Kita juga dapat berupaya untuk membuat maksud dari pembicaraan kita jelas dan menjelaskan dalam pengertian apa kita mengguanakn suatu perkataan. Inilah yang dapay kita lakukan untuk menghindari hambatan makna dalam memahami persoalan-persoalan di seputar kajian politik pada umumnya dan politik pendidikan khususnya.
2.      Kurang perspektif (the lack of perspective)
Ketika seorang pendidik berbicara bahwa sebuah kebijakan pendidikan bersifat politis, da tidak mampu menjelaskan maksud  dari pernyataan tersebut, maka dia bisa saja mempertunjukkan rasa frustasi atau bahkan sinisme. Perilaku seperti ini menurutnya, berawal dari  kurangnya pemahamn tentang dunia politik dan hubungan antara politik dan pendidikan. Tentu saja kurangnya perspektif seperti ini tidak mengagetkan karena keterkaitan antara berbagai proses dan institusi politik dan pendidikan di semua masyarakat sangat kompleks dan sering kali tidak kasat mata. Namun demikian, harus dikatakan bahwa tanpa perspektif tentang berbagai persoalan tersebut akan sulit bagi para guru dan administrator pendidikan untuk memahami berbagai tampilan politik dalam dunia pendidikan. Dengan kata lain, kurangnya perspektif tentang hubungan antara politik dan pendidikan akan menghambat kita tentang umsur-unsur politik dalam dunia pendidikan.
3.      Keraguan tentang Investigasi Sistematik (doubt about systematic investigation)
Hambatan ketiga ini berkaitan dengan keraguan tentang fisibilitas dan desiribilitas investigasi sistematik tentang perilaku dan proses politik dapat dieksplorasi secara sistematis dan sama halnya dengan proses kependidikan, meraka ragu apakah keputusan-keputusan yang ada merupakan tugas yang tepat bagi seorang pendidik atau seorang peneliti pendidikan. Harman yakin bahwa investigasi terhadap politik pendidikan tidak hanya diperlukan (desirable), tetapi juga layak untuk dijalankan. Dikatakan desirable karena penelitian politik pendidikan dapat memahami secara lebih baik berbagai konteks pekerjaan para pendidik, berbagai hambatan yang ada, dan berbagai kemungkinan dan cara untuk menangani dan mencapai perubahan. Dikatakan fesible karena penelitian politik pendidikan telah memiliki konsep-konsep, pendekatan dan metode penelitian. Harus diakui bahwa metode-metode penelitian tersebut relatif berbeda dengan metode-metode yang digunakan dalam penelitian empiris pendidikan tradisional.
4.      Perasaan ketidakberdayaan profesional (a sense of professional powerlesness)
Ketika seorang profesional pendidikan menilai suatu keputusan bersifat politis, biasa jadi perilaku ini muncul dari rasa frustasi dan ketidakberdayaan. Sungguh tidak dapat disangkal bahwa banyak para profesional pendidikan meraasa terancam. Hal ini bisa terjasi manakala iklim opini publik memberi perlawanan terhadap pendidikan, pemerintah mengurangi anggaran pendidikan, dan sekolah-sekolah dipersalahkan atas berbagai kekurangan. Selain itu, para profesioanl pendidikan merasa khawatir mereka akan kehilangan kekuasaan. Para guru bisa saja merasa terancam oleh domiasi peran orang tua terhadap majelis sekolah dan pengaruh kelompok-kelompok komunitas konservatif yang bersifat ideologis.
Dengan demikian, ketidakberdayaan profesional dapat melahirkan hambatan baru. Para profesioanl bisa saja menjadi patah semangat, terganggu, frustasi; mereka tidak mampu bekerja sebagaimana apa yang menurut mereka harus mereka kerjakan karena sering kal keputusan-keputusan dibuat oleh orang lain. Karena tidak dibuat oleh para profesional atas dasar landasan teknis, lalu keputusan-keputusan tersebut dibuat oleh kelompok nonprofesional atas landasan politis. Dan reaksi dari sebagian profesional adalah membuat garis pemisah antara dunia profesionalisme dan dunia politik, dan memantapkankegiatan mereka dalam wilayah profesionalisme.
Prospek di Indonesia
            Pengalaman panjang bangsa Indonesia, mulai dari era kolonial hingga era reformasi, memperlihatkan betapa pendidikan dan politik saling berkait kelindan. Keterkaitan tersebut dapat dilihat dari karaktersitik berbagai kebijakan pendidikan yang dibuat oleh rezim yang berkuasa.
            Pengalaman bangsa Indonesia pada masa awal kemerdekaan memperlihatkan betapa penting arti pendidikan bagi bangunan politik dan sebaliknya, betapa penting arti politik bagi perkembangan pendidikan. Sebagian besar pejabat pengisi struktur lembaga-lembaga politik adalah kaum terdidik dan political will pemerintah atau founding fathers kita saat itu adalah faktor kunci yang melahirkan Sistem Pendidikan Nasional Indonesia.
            Pengalaman bangsa Indonesia pada reformasi juga sangat jelas memperlihatkan kaitan antara persoalan kependidikan dan persoalan politik. Krisis pendidikan yang melanda negeri ini tentu saja tidak dapat dipisahkan dari krisis politik yang terjadi. Begitu juga sebaliknya, krisis politik yang terjadi di negeri ini sulit diisahkan dari realitas sistem pendidikan yang ada di negeri ini.
            Salah satu pengalaman tersebut dengan jelas memperlihatkan bahwa persoalan-persoalan kependidikan sulit diahami dengan baik tanpa melihat konteks politik dari persoalan-persoalan tersebut. Begitu juga sebaliknya, berbagai persoalan politik sulit dipahami tanpa melihat konteks pendidikan dari persoalan-persoalan tersebut. Semua pengalaman tersebut membuktikan bahwa aktivitas politik tidak hanya terjadi dalam organisasi-organisasi politik atau di gedung parlemen, tetapi juga terjadi di sentra kehidupan masyarakat lainnya, termasuk di lembaga-lembaga pendidikan.
            Pengalaman di atas memperlihatkan bahwa para ilmuwan pendidikan di negeri ini membutuhkan wawasan politik yang memadai untuk dapat menjelaskan berbagai persoalan kependidikan yang ada. Begitu juga sebaliknya, para ilmuwan politik di negeri ini membutuhkan wawasan kependidikan untuk dapat menjelaskan berbagai persoalan politik dengan baik kepada masyarakat. Di atas semua itu perspektif masyarakat tentang pendidikan perlu diperluas, dari hanya terbatas pada lingkup lingkungan sosial politik. Pada konteks inilah kita pantas optimis bahwa pada masa-masa mendatang, kajian-kajian politik pendidikan akan semakin dibutuhkan sehingga kajian-kajian dalam bidang ini akan berkemang pesat.












BAB V
PROBLEM METODOLOGI PENELITIAN
POLITIK PENDIDIKAN
            Proses kemunculan politik pendidikan sebagai suatu bidang kajian, di kalangan ilmuwan pendidikan maupun ilmuwan politik telah melalui pergumulan metodologis yang panjang dan penuh perdebatan. Tanpa penjelasan dan landasan metodologis yang memadai, ternyata sangat sulit bagi para peminat kajia politik pendidikan utuk meyakinkan audiens mereka tentang relevansi, siginfikansi dan prospek perkembangan idang kajian ini sehingga perdebatan metodologis terus berjalan berlarut-larut.
            Hingga awal 1970-an, kajian politik pendidikan belum memiliki basis metodologi yang mantap, walaupun pada saat itu penelitian yang terfokus pada bidang kajian ini cukup berkembang. Kelemahan metodologi tersebut dipengaruhi oleh karakteristik dan keterbatasan metodologis dalam tradisi studi politik dan kependidikan yang menjadi induknya.
            Selain oleh adanya keterbatasan metodologis pada disiplin induknya, yaitu ilmu pendidikan dan ilmu politik, perkembangan metodologis kajian politik pendidikan juga dipersulit oleh munculnya kecenderungan untuk memisahkan administrasi pendidikan dari politik pada awal 1900-an. Saat itu ada suatu keyakinan yang kuat dalam masyarakat Barat, khususnya di Amerika Serikat, bahwa pendidikan adalah fungsi khusus pemerintahan yang terpisah dari politik dan semata-mata berpijak pada nilai-nilai profesional.
Perkembangan Penelitian Politik Pendidikan
            Perkembangan penelitian politik pendidikan mendapat momentum pertama pada abad pertengahan 1960-an. Pada masa tersebut penelitian politik pendidikan mendapat dorongan perubahan dari faktor-faktor eksternal. Pada tingkat praktis, para ilmuwan sosial dari berbagai disiplin ilmu politik, memberikan stimulus yang signifikan terhadap penelitian kebijakan pendidikan. Mereka menerapkan berbagai model penelitian yang mereka miliki untuk meneliti isu-isu dan persoalan-persoalan kependidikan.
            Perkembangan penelitian dalam suatu bidang kajian juga banyak dipengaruhi oleh situasi sosial-politik yang berkaitan dengan karakteristik bidang kajian tersebut. Hal ini juga terjadi pada perkembangan penelitian politik pendidikan. Perkembangan penelitian dalam bidang kajian ini ternyata berkaitan dengan perubahan-perubahan yang terjadi dalam sistem politik yang tertutup ke sistem politik yang lebih terbuka. Jika sistem politik tertutup membatasi aktivitas penelitian, sistem politik terbuka memberikan peluang lebih luas bagi aktivitas penelitian.
            Berbagai kritik yang ditujukan pada studi-studi politik pendidikan mendorong para peneliti di bidang ini untuk mengembangkan metodologi yang lebih baik. Mereka mulai mempertanyakan persoalan-persoalan dasar tentang kajian ilmiah. Dalam mendesain rencana kerjanya, setiap peneliti harus memilih, secara sengaja meupun tidak sengaja, satu dari berbagai alternatif prosedur yang tersedia. Disadari atau tidak disadarinya, pilihan awal tersebut membuka jalan bagi penelitian-penelitian yang aka dilaksanakan. Berikut ini akan dibahas beberapa perkembangan metodologis yang mewarnai penelitian politik pendidikan.
Survei dan Studi Kasus
            Ada beberapa peneliti lainnya yang lebih menyukai studi kasus (a case approach), dimana semua karakteristik pendidikan politik yang relevan dalam suatu masyarakat, instuisi, kelompok kepentingan, atau serangkaian kejadian, dikaji secara mendalam. Studi kasus bisa jadi hanya terfokus pada satu periode kepemimpinan sekolah atau mencakup sistem pendidikan di suatu kota atau negara. Jumlah variabel dan kompleksitas hubungan yang akan dioalh dalam studi kasu se kecil apapun menjadi besar. Studi jeis ini kebanyakan menggunakan data nonkuantitatif yang diperoleh dari interview dengan informan dan observasi peneliti.
            Secara praktis semua fase study kasus menuntut kompetensi tinggi dalam penelitian karena metode ini dihadapkan pada resiko tingkat reabilitas yang rendah dan terjadinya kesalahan dalam sampling. Namun demikian sering diargumentasikan bahwa temuan-temuan tentang pola variabel, walaupun berdasarkan pada satu kasus, mengandung validitas lebih baik ketimbang temuan-temuan tentang variabel yang sama apabila diperlakukan terisolasi dari interaksi-interaksi yang terpola.
            Semakin banyak peneliti yang mengominasikan kelebihan-kelebihan dan meminimalisasi keterbatasan-keterbatasan pendekatan survei dan pendekatan studi kasus. Ada yang mulai dengan melakukan serangkaian pilot studi kasus sebagai dasar pemilihan variabel untuk kemudian dikaji dengan pendekatan survei. Ada juga yang mengguanakan survei sebagai studi awal untuk memilih variabel untuk mempersiapkan studi kasus yang mendalam (James 1966: 40-42).
Analisis Sistem dan Studi Politik
            Tren metodologi penelitian pendidikan pada awal 1970-an banyak dipengaruhi oleh tren metodologi disiplin induknya, yaitu ilmu politik. Karena semakin meningkatnya pengguanaan analisis sistem dalam ilmu-ilmu sosial, khususnya dalam ilmu politik, tidak mengherankan bahwa nilai potensialnya juag harus diteliti oleh para mahasiswa politik pendidikan. Namun demikian, penggunaan analisis sistem dalam studi politik pendidikan belum memuaskan para penggunanya.
            Bersama survei dan studi kasus, analisis sistem telah menandai perkembangan awal metodologi studi-studi politik pendidikan. Sikap kritis dan kemampuan para peneliti dalam bidang kajian ini melakukan improvisasi telah turut memacu perkembangan metodologi.
Beberapa Prioritas
            Dalam rangka meminimalisasi berbagai problem metodologis yang ada dalam studi politik pendidikan, maka perlu dikembangkan prioritas-prioritas dalam bidang kajian ini. Menurut Harman (1980:11-12), ada enam prioritas utama yang mendesak untuk dilakukan. Pertama, studi dengan penekanan pada teori dan pengembangan teori. Studi ini meliputi eksplorasi hubungan menyeluruh antara politik dan pendidikan; analisis terhadap konsep-konsep dan kerangka yang tersedia dalam ilmu politik dan bidang terkait dan menilai kemungkinan penerapannya untuk penelitian politik pendidikan; menyusun kerangka dan asumsi-asumsi penelitian secara eksplisit dan mengembangkan kerangka dan konstruksi teoritis yang baru untuk menangani problem khusus dalam politik pendidikan.
            Kedua, melakukan studi komparatif. Selain bersifat cross-national dan mengkaji aktor, proses dan perilaku dalam konteks hukum yang berbeda, kajian politik pendidikan hendaknya juga membandingkan aspek-aspek sistem kebijakan pendidikan dengan wilayah lain dari aktivitas pemerintah.
            Ketiga, membuat summary atau melakukan studi interpretatif. Diperlakukan studi-studi yang merangkum temuan-temuan dari kajian politik pendidikan, menginterpretasi hasil-hasilnya, dan menjelaskan secara jelas dan relatif sederhana implikasinya pada praktik dan penelitian lebih lanjut.
            Keempat, melakukan studi dengan fokus utama pada tingkat makro. Tidak diragukan bahwa studi kasus memiliki nilai penting. Namun di satu pihak, ada kebutuhan untuk mengetahui sejauh mana kasus-kasus tertentu dalam skala besar memiliki kesamaan
            Kelima, melakukan studi tentang pemerintah pusat dan pendidikan.diperlukan studi mendetail tentang struktur Departemen Pendidikan Nasional atau karakteristik proses kebijakan pendidikan di tingkat nasional.
            Keenam, melakukan studi tentang persoalan di seputar kebijakan. Studi ini diperlukan untuk mengembangkan analisis tentang dampak kebijakan pendidikan terhadap kualitas dan jenis pelayanan pendidikan yang disediakan, dan kehidupan peserta didik dan anggota masyarakat.
            Dengan memfokuskan kajian politik pendidikan pada enam prioritas sebagaimana disarankan oleh harman di atas, selain dapat memperkuat basis metodologi kajian-kajian mereka, para peminat kajian politik pendidikan juga dapat membuat konteks studi mereka lebih bervariasi dan mengembangkan dimensi-dimensi praktis dari hasil-hasil yang mereka yang mereka capai, agar kajian politik tidak berada di menara gading (ivory tower), tetapi benar-benar memberi kontribusi bagi upaya-upaya pengembangan sistem pendidikan.

Langkah ke Depan
            Pada masa lalu perkembangan penelitian terhambat oleh para praktisi pendidikan yang berpendapat bahwa pendidikan pulik tidak bersifat politis dan memiliki struktur pengelolaan yang terpisah dan independen. Pada 1960-an, berbagai kekuatan sosial yang memengaruhi sekolah telah mengubah situasi ini dan menciptakan sistem politik pendidikan yang lebih terbuka. Ha tersebut memungkinkan para peneliti mengkaji perubahan-perubahan yang terjadi dalam hubungan antara penguasa pendidikan dan lingkungannya, dan dalam jaringan internal sistem (intra-system-networks). Sebagian besar peneliti telah terkosentrasi pada konsekuensi alokatif dan interaksi politik-siapa mendapatkan apa, kapan, dan bagaimana (who get what, whwn and how).
            Meskipun penelitian dalam kajian politik pendidikan sudah cukup berkembang, masih diperlukan pengembangan dari analisis mikro ke analisis makro. Dalam banyak hal, persoalan-persoalan politik pendidikan yang kompleks dan bervariasi tidak mungkin dapat dipahami melalui survei statistik berskala besar. Namun demikian, studi kasus tidak memungkinkan kita melakukan generalisasi. Dibutuhkan kombinasi yang tepat antara pendekatan survei dan pendekatan kasus.
            Meskipun mengalami masa perkembangan cukup panjang, berbagai prolem metodologis yang telah didiskusikan dalam tulisan ini mengingatkan kita bahwa hingga awal 1970-an kajian politik pendidikan adalah wilayah kajian yang masih dalam kajian tahap perkembangan yang belum memiliki basis empiris dan kemajuan metodologis yang khas dan telah teruji. Namun, pada saat yang sama ada optimisme bahwa kemajuan metodologis kajian ini akan berkembang.
            Pada masa-masa mendatang, ada beberapa fokus yang dapat dikembangkan dalam kajian politik pendidikan, yaitu menyangkut studi komparatif terhadap pengaruh negara, manajemen atau kontrol terhadap pendidikan; sejarah peraturan perundang-undangan pendidikan; studi banding atas negara-negara yang memiliki pemerintah kesatuan (unitary government), kontrol fiskal sentralistik dan sentralisasi kurikulum;dampak proses hukum terhadpa pendidikan; hubungan antara kurikulum dan minat serta paltihan guru dengan nilai-nilai politik masyarakat.
            Untuk konteks keindonesiaan, kajian politik pendidikan dapat dikembangkan dengan beberapa fokus yang berkaitan erat dengan perkembangan mutakhir kehidupan sosial dan politik di negeri ini, seperti aktivitas dan kultur politik mahasiswa, gerakan guru, otomisasi dan desentralisasi pendidikan, anggaran pendidikan, otonomi kampus, dan lain-lain. Para peminat kajian politik pendidikan di Indonesia perlu memprioritaskan kajian-kajian teoritik untuk mengembangkan dasar-dasar teori bagi kajian politik pendidikan di Indonesia perlu memprioritaskan kajian-kajian politik pendidikan; menggalakkan studi komparatif cross-national; meninjau dan menganalisis hasil-hasil penelitian yang telah ada; dan mengembangkan studi-studi terhadap isu-isu pendidikan yang bersifat makro maupun mikro. Di era otonomi pendidikan seperti sekarang ini, perlu digalakkan studi tentang kebijakan, otoritas dan peran kependidikan pemerintah pusat dan daerah; dan analisis tentang latar belakang, isi, aktor, implementasi, dan implementasi dari berbagai kebijakan pendidikan, baik yang dibuat untuk skala nasional maupun yang dibentuk untuk skala daerah.














BAB VI
VOTER EDUCATION, KOMUNIKASI POLITIK DAN DEMOKRASI
            Perkataan voter (orang yang menggunakan hak suara atau pemilih) berasal dari kata vote (hak suara) yang berarti “ekspresi opini yang disampaikan secara formal”. Kata kerjanya adalah to vote (memberikan hak suara) yang berarti “memberikan hak suara untuk memutuskan, menerima, atau menolak sesuatu”.
Education (pendidikan) adalah proses pelatihan agar pesertanya dapat mengembangkan dan menggunakan kemampuan mental, moral, dan fisiknya dalam melksanakan sesuatu. Tujuan utama pendidikan adalah “mengajarkan ank didik untuk dapat berpikir secara rasional, independen, dan baik” (Callahan & Clark 1977: 76). Proses pendidikan melibatkan aspek penyadaran (self realization), pemberian ilmu pengetahuan (self-knowledge), dan pengembangan potensi diri (self-development).
            Dari pengertian di atas dapat dipahami bahwa Voter Education (pendidikan pemilih) adalah suatu upaya sadar untuk memberikan pengetahuan dan pemahaman kepada para pemilih tentang berbagai hal yang ada kaitannya dengan hak suara mereka dalam pemilu, sehingga mereka dapat memberikan hak suara sesuai dengan pertimbangan-pertimbangan rasional dan ahti nurani, tanpa merasa terpaksa atau tertekan.
Pemilu dan Demokrasi
            Pemilu meruapakan sarana untuk mewujudkan kadaulatan rakyat dalam rangka keikutsertaan rakyat dalam penyelenggaraan pemerintahan negara berdasarkan Pancasila dan Undang-Udang Dasar 1945 (UU 3/1999, Konsideran b & Pasal 1 (1). Kata “demokrasi” berasal dari dua kata Yunani, yaitu demos berarti rakyat dan cratein yang berarti memerintah. Jadi dilihat dari asal katanya, demokrasi berasal dari rakyat (of the people), dilaksanakan oleh rakyat (by the people), dan untuk kepentingan rakyat (for the people) (Soemantri:7)
            Dalam sistem demokrasi, rakyat memiliki kedudukan yang sangat penting. Rakyat dierikan hak secara penuh dalam kehidupan politik maupun ekonomi dan hak-hak tersebut dilihat oleh pimpinan negara sebagai bagian dari hak asasi manusia.
Mengapa Voter Education?
            Hasil riset yang dilakukan oleh Asia Foundation 1998 menyimpulka bahwa kurang demokratisnya pelaksanaan pemilu di Indonesia pada masa Orde Baru, selain disebabkan oleh banyaknya penyelewengan yang dilakuakan oleh pemerintah dan parpol kontestan pemilu, juga disebabkan oleh rendahnya pemahaman masyarakat tentang berbagai hal yang ada kaitannya dengan pelaksanaan pemilu dan demokrasi (Rita, 1999:1). Hasil riset ini menyadarkan kita bahwa harus ada upaya-upaya kependidikan untuk mempersiapkan masayarakat Indonesia menjelang pelaksanaan pemilu.
            Pemahaman seluruh rakyat tentang nilai-nilai demokrasi dan kesadarannya dalam berpartisipasi dalam pelaksanaa pemilu yang demokratis, jujur, dan adil, adalah taruhan bagi tegaknya Indonesia baru yang berdasarkan para kedaulatan rakyat. Program Voter Education diharapkan dapat membantu seluruh rakyat mendapatkan informasi sejelas-jelasnya dan sebanyak-banyaknya tentang penyelenggaraan pemilu agar mereka dapat menentukan pilihan dan terhindar dari praktik-praktik pemaksaan dan money politics, maupun melalui cara-cara lainnya yang ertentangan dengan nilai-nilai luber dan jurdil. Memberikan pengetahuan sebanyak-banyaknya pada masayarakat tentang aspek-aspek penyelenggaraan pemilu berarti menumbuhkan keberanian mereka untuk menyatakan dan menggunakan haknya sesuai dengan hati nurani mereka dan sesuai dengan cita-cita kedaulatan rakyat.
Komunikasi dalam Voter Education
            Secara etimologis kata komunikasi berasal dari bahasa latin communicare yang artinya “menyebarkan, memberitahukan” (Meinanda, 1981:1). Dari penertian ini dapat dipahami bahwa komunikasi adalah suatu upaya berbagai untuk mencapai kebersamaan dengan melalui sistem lambang-lambang, tanda-tanda, atau tingkah laku.
            Program Voter Education bertujuan “menyebarkan berbagai informasi yang ada akitannya dengan penggunaan dan hak suara rakyat dalam penyelenggaraan pemilu dan “memberitahukan” kepada rakyat.
            Karena peserta program Voter Education adalah masyarakat luas, komunikasi yang terjadi adalah komunikasi massa. Namun demikian, komunikasi interpersonal dan komunikasi kelompok juga dapat terjadi, tergantung pada situasi yang dihadapi oleh para pelatih Voter Education di lapangan. Program ini dapat diterapka dalam empat bentuk kegiatan: penyuluhan, pemasangan spanduk, penyebaran leaflet, dan penempelan stiker. Dengan empat bentuk kegiatan ini, penyampaian pesan-pesan Voter Education diharapkan berlangsung secara transaksional (multiarah).
            Program Voter Education akan berhasil jika para pelatih (komunikator) menyesuaikan komunikasinya dengan the image dari para peserta (komunikan), yaitu memahami kepentingan, kebutuhan, kecakapan, pengalaman, kemampuan berpikir, kesulitan, dan sebagainya. Singkatnya, para pelatih Voter Education harus dapat menjaga kesemestaan alam mental yang terdapat pada para peserta Voter Education.
            Untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, kegiatan komunikasi perlu memerhatikan etika-etika. Menurut Malik (1999:3), ada tiga etika yang perlu diperhatiakn dalam komunikasi. Pertama, menumbuhkan sikap percaya melalui komunikasi yang terbuka, jujur, dan mendalam. Kedua, mengembangkan sikap sportif dengan menyampaikan pesan-pesan deskriptif, berorientasi pada masalah, spontan, empati, dan tidak kemutlak-mutlakkan. Ketiga, mengembangkan sikap terbuka dengan cara siap menerima informasi dari manapun.
            Hanya dengan profesionalisme program Voter Education dapat berjalan efektif. Efektif atau tidaknya program Voter Education di seluruh Indinesia akan besar artinya bagi suksesnya pemilu dan tegaknya demokrasi di negeri tercinta ini.



ANALISIS
            Sebagaimana yang telah disebutkan dalam buku ini bahwa pendidikan dan politik adalah dua elemen penting dalam sistem sosial politik di setiap negara, baik negara maju maupun negara berkembang. Keduanya sering dilihat sebagai bagian-bagian yang terpisah, yang satu sama lain tidak memiliki hubungan apa-apa. Padahal, keduanya bahu-membahu dalam proses pembentukan karakteristik masyarakat di suatu negara.
            Kaitannya dalam pengertian ini, penulis juga mengutip salah satu pendapat  Buchori mengatakan bahwa para mahasiswa harus belajar tentang tanggung jawab warga negara (civic responsibility). Dia menegaskan “Inilah yang saya maksud dengan ketidakterpisahan antara politik dan pendidikan”. Para mahasiswa lanjutnya, tidak boleh acuh tak acuh terhadap segala sesuatu yang berlangsung di luar lingkungan perguruan tinggi
Hubungan antara pendidikan dan politik bukan sekedar hubungan saling mempengaruhi, tetapi juga hubungan fungsional. Lembaga-lembaga dan proses pendidikan menjalankan sejumlah fungsi politik yang signifikan. Mungkin yang terpenting dari fungsi-fungsi tersebut bahwa sekolah-sekolah dan lembaga pendidikan lainnya menjadi agen-agen sosialisasi politik.
Pengalaman bangsa Indonesia pada masa awal kemerdekaan memperlihatkan betapa penting arti pendidikan bagi bangunan politik dan sebaliknya, betapa penting arti politik bagi perkembangan pendidikan. Sebagian besar pejabat pengisi struktur lembaga-lembaga politik adalah kaum terdidik dan political will pemerintah atau founding fathers kita saat itu adalah faktor kunci yang melahirkan Sistem Pendidikan Nasional Indonesia.
Untuk konteks keindonesiaan, kajian politik pendidikan dapat dikembangkan dengan beberapa fokus yang berkaitan erat dengan perkembangan mutakhir kehidupan sosial dan politik di negeri ini, seperti aktivitas dan kultur politik mahasiswa, gerakan guru, otomisasi dan desentralisasi pendidikan, anggaran pendidikan, otonomi kampus, dan lain-lain. Para peminat kajian politik pendidikan di Indonesia perlu memprioritaskan kajian-kajian teoritik untuk mengembangkan dasar-dasar teori bagi kajian politik pendidikan di Indonesia perlu memprioritaskan kajian-kajian politik pendidikan; menggalakkan studi komparatif cross-national; meninjau dan menganalisis hasil-hasil penelitian yang telah ada; dan mengembangkan studi-studi terhadap isu-isu pendidikan yang bersifat makro maupun mikro.



























KESIMPULAN
Dari pemikiran tersebut dapat ditarik beberapa pemahaman. Pertama, adanya kesadaran tentang hubungan erat antara pendidikan dan politik. Kedua, adanya kesadaran akan peran penting pendidikan dalam menentukan corak dan arah kehidupan politik. Ketiga, adanya kesadaran tentang adanya pemahaman tentang hubungan antara pendidikan dan politik. Keempat, diperlukan pemahaman yang lebih luas tentang politik. Kelima, pentingnya pendidikan kewarganegaraan (civic eduations).
Pengalaman bangsa Indonesia pada reformasi juga sangat jelas memperlihatkan kaitan antara persoalan kependidikan dan persoalan politik. Krisis pendidikan yang melanda negeri ini tentu saja tidak dapat dipisahkan dari krisis politik yang terjadi. Begitu juga sebaliknya, krisis politik yang terjadi di negeri ini sulit diisahkan dari realitas sistem pendidikan yang ada di negeri ini.
Di era otonomi pendidikan seperti sekarang ini, perlu digalakkan studi tentang kebijakan, otoritas dan peran kependidikan pemerintah pusat dan daerah; dan analisis tentang latar belakang, isi, aktor, implementasi, dan implementasi dari berbagai kebijakan pendidikan, baik yang dibuat untuk skala nasional maupun yang dibentuk untuk skala daerah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

g
o
l
B
y
m
n
i
n
a
l
h
a
S
a
w
n
a
l
h
A