RESUM
3
Disusun guna memenuhi tugas:
Mata Kuliah :
Strategi Belajar Mengajar
Dosen pengampu : Chusna
Maulida, M. Pd. I
Oleh:
MAYDA AR RAHMAH
2021 111 272
Kelas: C
TARBIYAH PAI
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN) PEKALONGAN
2013
IDENTITAS BUKU
Judul : Politik Pendidikan: Dinamika Hubungan antara
Kepentingan Kekuasaan dan Praktik Penyelenggaraan Pendidikan
Pengarang : M. Sirozi, Ph.D
Penerbit : PT. Raja Grafindo Persada, 2007
268 hlm. 21 cm
BAB I
HUBUNGAN POLITIK DAN PENDIDIKAN
Pendidikan dan politik
adalah dua elemen penting dalam sistem sosial politik di setiap negara, baik
negara maju maupun negara berkembang. Keduanya sering dilihat sebagai
bagian-bagian yang terpisah, yang satu sama lain tidak memiliki hubungan
apa-apa. Padahal, keduanya bahu-membahu dalam proses pembentukan karakteristik
masyarakat di suatu negara. Lebih dari itu, keduanya satu sama lain saling
menunjang dan saling mengisi. Lembaga-lembaga dan proses pendidikan berperan
penting dalam membentuk perilaku polyik masyarakat di negara tersebut. Begitu
juga sebaliknya, lembaga-lembaga dan proses politik di suatu negera membawa
dampak besar pada karakteristik pendidikan di negara tersebut.
Di dunia Islam,
keterkaitan antara pendidikan dan politik terlihat jelas. Sejarah peradaban
Islam banyak ditandai oleh kesunggguhan para ulama dan umara dalam
memperhatikan persoalan pendidikan dalam upaya memperkuat posisi sosial politik
kelompok dan pengikutnya.
Selain faktor religius
bahwa agama Islam sangat menjunjung aktivitas kependidikan, perhatian besar
para pemimpin Islam terhadap masalah pendidikan didorong oleh besarnya peran
lembaga-lembaga pendidikan dalam penyampaian misi politik. Pendidikan sering
dijadikan media dan wadah untuk menanamkan ideologi negara atau tulang yang
menopang kerangka politik.
Islam adalah agama yang
totaliter jam’i, mencakup semua aspek kehidupan seorang Muslim dari makan dan
minum, tata cara berumah tangga, urusan sosial kemasyarakatan, sampai pada
ibadat yang semuanya diatur oleh Syari’at. Untuk mengetahui bagaimana hidup
yang Islami, seorang Muslim mesti terlibat dengan kegiatan pendidikan. Kedua,
karena motivasi politik, sebab di dalam Islam antara politik dan agama sulit
untuk dipisahkan. Para penguasa Muslim sering menjadikan kekuasaan sebagai alat
untuk menanamkan paham-paham keagamaan.
Pendidikan dan Sikap Kelompok
Dalam banyak kasus,
hubungan kekuasaan antar berbagai kelompok masayarakat banyak dipengaruhi oleh
kesempatan belajar dan intensitas respons mereka terhadap pendidikan Barat.
Kelompok masyarakat yang merasa tertekan dan menjadi korban imperialisme budaya
cenderung menginginkan sistem pendidikan secara terpisah, dalam rangka
melindungi identitas kelompok mereka.
Pendidikan dan Dunia Kerja
Pendidikan dan dunia
kerja memiliki hubungan yang sangat kompleks. Salah satu inovasi paling radikal
yang disebabkan oleh pendidikan adalah meningkatnya ambisi pribadi. Masalah
pengangguran menjadi ujian penting bagi pemerintah di negara-negara berkembang.
Mereka dituntut untuk mengimbangi keberhasilan pendidik dengan ketersediaan
lapangan kerja. Di satu pihak, ekspansi pendidikan turut serta melahirkan
instabilitas karena pendidikan melahirkan tuntutan yang seringkali tidak dapat
dijawab oleh sistem politik. Di pihak lain, tersedianya pendidikan yang cukup
di semua jenjang adalah persyaratan yang diperlukan untuk menciptakan
stabilitas politik. Hanya dengan sumber daya manusia yang terlatih dan
kesempatan kerja yang memadai pemerintah dan birokrasinya dapat memenuhi
tuntunan publik, dan hanya publik yang terdidik yang dapat diminta turut serta
bertanggung jawab dalam pembangunan bangsa (nation-building). Keterkaitan antara pendidikan dan politik
berimplikasi pada semua dataran, baik pada dataran filosofis maupun dataran
kebijakan.
Pada gilirannya,
implementasi dari suatu kebijakan pendidikan berdampak pada kehidupan politik.
Berbagai kebijakan pendidikan berdampak pada kehidupan politik. Berbagai
kebijakan berdampak langsung pada akses, minat dan kepentingan pendidikan para
stakeholder pendidikan, terutama orangtua dan peserta didik, dan masyarakat
pada umumnya.
Format Hubungan
Hubungan antara politik
dengan pendidikan terwujud ke dalam bentuk yang berbeda-beda, sesuai
karaketeristik setting sosial politik dimana hubungan itu terjadi. Bentuk
hubungan tersebut berbeda-beda dari satu masyarakat ke masyarakat yang lain.
Dalam masyarakat yang
lebih maju dan berorientasi teknologi, dan mengadopsi nilai-nilai dan lembaga
Barat, pola hubungan antara pendidikan dan politik berubah dari pola
tradisional ke pola modern.
Di dalam masyarakat modern
umumnya, pendidikan adalah komoditi politik yang sangat penting. Proses dan
lembaga-lembaga pendidikan memiliki aspek dan wajah politik yang banyak, serta
memiliki beberapa fungsi penting yang terdampak pada sistem politik, stabilitas
dan praktik sehari-harinya.
Jika politik dipahami
sebagai “praktik kekuatan, kekuasaan, dan otoritas dalam masyarakat dan pembuatan
keputusan-keputusan otoritatif tentang alokasi sumber daya dan nilai-nilai sosial” (Harman, 1974:9), maka
jelaslah bahwa pendidikan tidak lain adalah sebuah bisnis politik. Semua
lembaga pendidikan, baik pemerintah maupun non pemerintah, dalam batas-batas
tertentu tidak terlepas dari bisnis pembuatan keputusan-keputusan yang disertai
otoritas dam yang dapat diberlakukan.
Perkembangan di Indonesia
Di Indonesia,
kepedulian terhadap hubungan pendidikan dan politik sudah mulai berkembang
dalam wacana publik walaupun belum menjadi satu bidang kajian akademik. Berbicara
dalam konteks Indonesia, Buchori percaya bahwa “poor education is one source
of the country’s crisis” (pendidikan yang tidak bermutu adalah salah satu
sumber krisis di negeri ini). Dia menjelaskan lebih jauh bahwa “the crisis
now facing the nations [Indonesia] stems from an accumulation of innappropriate
or wrong political decisions generated in the past” (krisis yang saat ini
sedang melanda bangsa ini [Indonesia] bersumber dari akumulasi
keputusan-keputusan politik yang tidak tepat yang terjadi pada masa lalu). Dia
menambahkan; “Pada masa lalu kita mempunyai generasi pemimpin politik yang
membawa bangsa ini pada kemerdekaan. Akan tetapi, akhirnya kita melihat suatu
generasi yang membuat keputusan-keputusan politik yang menyesatkan.
Ketika ditanya apakah
politik harus memasuki wilayah pendidikan atau sebaliknya, Buchori mengatakan
bahwa para mahasiswa harus belajar tentang tanggung jawab warga negara (civic
responsibility). Dia menegaskan “Inilah yang saya maksud dengan
ketidakterpisahan antara politik dan pendidikan”. Para mahasiswa lanjutnya,
tidak boleh acuh tak acuh terhadap segala sesuatu yang berlangsung di luar
lingkungan perguruan tinggi. Ia meneyimpulkan “Kita tidak akan pernah bisa lari
dari politik. Politik adalah realitas kehidupan. Mari berpolitik secara bijak.
Dari pemikiran tersebut
dapat ditarik beberapa pemahaman. Pertama, adanya kesadaran tentang
hubungan erat antara pendidikan dan politik. Kedua, adanya kesadaran
akan peran penting pendidikan dalam menentukan corak dan arah kehidupan
politik. Ketiga, adanya kesadaran tentang adanya pemahaman tentang
hubungan antara pendidikan dan politik. Keempat, diperlukan pemahaman
yang lebih luas tentang politik. Kelima, pentingnya pendidikan kewarganegaraan (civic
eduations).
BAB II
FUNGSI POLITIK
INSTITUSI PENDIDIKAN
Hubungan antara
pendidikan dan politik bukan sekedar hubungan saling mempengaruhi, tetapi juga
hubungan fungsional. Lembaga-lembaga dan proses pendidikan menjalankan sejumlah
fungsi politik yang signifikan. Mungkin yang terpenting dari fungsi-fungsi
tersebut bahwa sekolah-sekolah dan lembaga pendidikan lainnya menjadi agen-agen
sosialisasi politik.
Institusi Pendidikan Sebagai Alat
Kekuasaan?
Berbagai
institusi pendidikan yang ada dalam masyarakat dapat berfungsi sebagai alat
kekuasaan dalam upaya membentuk sikap dan keyakinan politik yag dikehendaki.
Berbagai aspek pembelajaran, terutama kurikulum dan bahan-bahan bacaan,
seringkali diarahkan pada kepentingan politik tertentu. Eliot (1959:1046)
menulis sebagai berikut:
Althought political
power is centered in groups and individuals, its effectiveness and use are
shaped by institutions. The institutional patter af public education may seem
firmly fixed, firmly enough, certainly, so that any proposal, to have a chance
of succes, must appear to conform to it (Walaupun kekuasaan
politik terpusat pada berbagai kelompok dan individu, efektivitas dan
kegunaannya dibentuk oleh berbagai institusi. Pola institusional pendidikan
publik mungkin saja tampak kokoh, cukup mantap, sehingga untuk dapat berhasil,
setiap proposal perlu menyesuaikan diri dengannya)
Di banyak negara totaliter dan negara
berkembang, pemimpin politik sangat menyadari fungsi pendidikan dalam mencapai
tujuan-tujuan politik. Dari generasi ke generasi pemimpin politik telah
menyadari dampak yang dapat ditimbulkan oleh sistem pendidikan terhadap
kehidupan politik. Mereka menyadari bahwa negara tidak dapat mengabaikan
sekolah jika ingin mencapai tujuan-tujuannya, termasuk tujuan untuk
mempertahankan kekuasaan. Stabilisasi atau transformasi politik banyak
ditentukan oleh faktor pendidikan.
Sosialisasi Politik atau Politisasi
Salah satu jalan yang
menghubungkan sekolah dan politik, kata Massialas (1969: 155) adalah melalui
sosialisasi politik anak-anak dan para pemuda. Sekolah dengan berbagai
perangkatnya; kurikulum, buku-buku teks, metode pengajaran, guru, siswa,
danstaf administrasi lainnya, bisa saja secara eksplisit maupun implisit
terkait dengan orientasi transmisi orientasi politik dasar terhadap lingkungan.
Orientasi politik dasar, tandas Massialas (1969: 155), bisa bersifat cognitive,
afektif, dan relatif.
Sosialisasi politik
diperlukan, baik untuk mempertahankan maupun untuk menggerogoti kekuasaan.
Untuk mempertahankan suatu sistem politik, harus ada dukungan yang cukup dari
warga negara. Dukungan atau kritik terhadap suatu sistem yang diberikan oleh
agen-agen sosialisasi, seperti keluarga, gereja atau masjid, kelompok sebaya (peer
group), dan sekolah. Dengan menekankan hak dan privilese mereka
sebagai warga negara, ketimbang tugas-tugas dan kewajiban mereka, sekolah dapat
menstimulasi para pemuda untuk mengorganisasi dan mengartikulasikan keinginan
tertentu terhadap pemerintah dalam banyak tuntutan.
Secara lebih luas,
sosialisasi politik melalui proses pendidikan dapat memengaruhi stabilitas dan
transformasi sistem politik. Pengaruh ini dapat dilihat dari beberapa
transformasi politik yang besar dimana perhatian utama para pemimpin untuk
mempertahankan ideologi dan agenda politiknya adalah mengontrol sistem
pendidikan. Ketika sistem politik mengalami transformasi radikal, langkah awal
yang ditempuh oleh para penguasa yang baru adalah segera mengubah sistem
pendidikan. Para penguasa baru tersebut memaklumi bahwa keberhasilan dan
konstinuitas rezim mereka sangat terkait dengan ide-ide dan pola perilaku yang
ditransmisikan melalui fasilitas pendidikan.
Orientasi Dasar Politik
Orientasi dasar politik
(basic political orientation), menurut Easton (1957:311-12), mencakup
tiga elemen utama. Pertama, objek politik (political object) atau
kesan yang dipersepsikan (perceived images). Karena kita tidak dapat
bertindak dalam kevakuman, maka manakala kita melakukan tindakan politik kita
harus mengarahkan diri kita pada objek politik tertentu.
Kedua,
nilai-nilai (values) atau kesan yang diinginkan (desired images).
Mengetahui kesan yang diinginkan sama dengan halnya dengan pencarian satu aspek
sistem kepercayaan dalam sistem politik. Ketiga, sikap politik (political
attitude). Anggota-anggota dari suatu sistem memperlihatkan beragam sikap
terhadap objek-objek politik.
Bagi Easton, tiga
orientasi dasar politik di atas tidak diperoleh secara terpisah selama proses
politisasi. Ketiganya satu sama lain saling terkait. Kesan yang dipersepsikan
oleh individu tertentu tentang orang-orang, praktik, dan institusi akan
dibentuk secara bersama oleh apa yang kehendaki dan sikap-sikap yang
diekspresikannya terhadap objek-objek politik. Institusi-institusi pendidikan
memainkan peranan penting dalam menentukan ketahanan, integrasi dan perubahan
sistem politik, karena proses pendidikan dapat membentuk jenis-jenis orientasi
dasar yang dimiliki oleh individu.
Institusi-institusi
pendidikan, walaupun pada awalnya didesain untuk menjalankan fungsi-fungsi
pendidikan semata, dalam perkembangannya bisa saja menjalankan fungsi-fungsi
politik tertentu, baik disadari maupun tidak disadari oleh para pengelolanya.
Ada tiga alasan utama untuk hal ini. Pertama, karena keberadaan dan
perkembangan institusi pendidikan tidak terlepas dari dinamika sosial politik
masyarakat di lingkungannya. Kedua, karena kuatnya kecenderungan para politisi
untuk mengeksploitasi peran institusi pendidikan untuk kepentingan politik. Ketiga,
karena para pengelola sekolah pada dasarnya juga adalah para politisi yang
senantiasa dihadapkan pada dinamika internal maupun eksternal.
BAB III
KONTROL NEGARA TERHADAP PENDIDIKAN
Sebagai suatu proses
yang banyak menentukan corak dan kualitas kehidupan individu dan masyarakat,
tidak mengherankan apabila semua pihak memandang pendidikan sebagai wilayah
strategis bagi kehidupan manusia sehingga program-program dan proses yang ada
di dalamnya dapat dirancang, diatur dan diarahkan sedemikian rupa untuk
mendapatkan output yang diinginkan. Banyak negara yang menempuh segala
cara untuk mengontrol berbagai jalur, jenis, dan jenjang pendidikan yang
berkembang dalam masyarakatnya. Memperketat birokrasi memperbanyak peraturan
perundang-undangan, mendikte kurikulum, menerapkan sistem akreditasi, dan
membuat skema subsidi merupakan beberapa cara yang sering digunakan oleh suatu
negara dalam upaya mengontrol aktivitas pendidikan masyarakat.
Negara dan Perangkatnya
Apa itu negara? Dalam
wacana sehari-hari ada kerancuan pemahaman tentang konsep negara. Ada sebagian
anggota masyarakat yang mengidentikkan negara dengan pemerintah, padahal
tidaklah demikian halnya. Pemahaman seperti ini jelas-jelas mengaburkan konsep
tentang negara. Menurut Dale (1989:4), negara bukanlah pemerintah dan
pemerintah hanyalah salah satu bagian dari negara. Memang tidak dapat
dipungkiri bahwa pemerintah adalah bagian dari negara yang paling kasat mata
dan dapat juga menjadi bagian paling penting dan paling efektif dari negara, tetapi
pemerintah bukanlah keseluruhan dari negara. Negara terdiri dari berbagai
institusi yang masing-masing memiliki fungsi dan peran tersendiri dalam tatanan
kehidupan kenegaraan.
Semua institusi negara
memiliki keterikatan dengan publik. Secara ideal, semuanya dirancang dan
diarahkan untuk mewujudkan peran negara, menurut Dale (1989:53), adalah “untuk
memediasi negara dan subjeknya satu sama lain”. Dalam menjalankan perannya,
berbagai institusi negara baik pada tingkat lokal maupun nasional, didanai oleh
publik. Inilah antara lain alasan mengapa salah satu fungsi ideal negara yang
terpenting adalah memberikan pelayanan publik (to serve the lie public).
Mengembangkan satu
sistem pendidikan adalah salah satu langkah penting yang diambil oleh
negara-negara modern sebagai upaya untuk dapat mengontrol dan keluar dari
krisis motivasi tersebut. Dengan mengemban nilai-nilai, ideologi, dan
kepentingan-kepentingan negara, banyak sistem pendidikan telah memberikan
kontribusi yang signifikan pada negara dalam upayanya mengatasi krisis motivasi
tersebut. Berbagai sistem pendidikan mampu secara signifika memberi kontribusi
dalam bentuk solusi yang memuaskan terhadap krisis motivasi yang melanda banyak
negara.
Kontrol terhadap Pendidikan
Sudah menjadi kenyataan
sejarah bahwa selalu saja ada ketegangan permanen antara perangkat negara yang
birokratis dan substansi dari aktivitasnya. Ketegangan tersebut menghasilkan
sejumlah pertanyaan yang dapat diberikan melalui pendidikan sebagai suatu
perangkat negara. Inilah alasan penting mengapa pendidikan begitu berarti bagi
suatu negara. Ini juga alasan penting mengapa suatu negara akan melakukan
berbagai upaya untuk mengontrol sistem atau praktik kependidikan yang ada di
negara tersebut.
Menurut Dale (1989:
39-43), kontrol negara terhadap pendidikan umumnya dilakukan melalui empat
cara. Pertama, sistem pendidikan diatur secara legal. Kedua,
sistem pendidikan dijalankan sebagai birokrasi, menekankan ketaatan pada aturan
dan objektivitas. Ketiga, penerapan wajib pendidikan (compulsory
education). Keempat, reproduksi politik dan ekonomi yang berlangsung
di sekolah berlangsung dalam konteks politik tertentu.
Salah satu fungsi
sistem pendidikan di banyak negara adalah menghasilkan pengetahuan
teknis/adminstratif yang pada akhirnya diakumulasi oleh kelompok-kelompok
dominan yang digunakan dalam mengontrol ekonomi, politik, dan budaya. Selain
mereflesikan ideologi pendidikan para penguasa negara, berbagai laporan dan
peraturan kependidikan yang dibuat oleh negara juga mereflesikan jalur, bentuk,
dan skala kontrol negara terhadap dunia pendidikan.
Berbagai tindakan
negara, khususnya dalam bidang peraturan perundang-undangan, sangat signifikan
terhadap pendidikan dan memiliki dampak krusial terhadap perkembangan
pendidikan. Berbagai tuntutan perubahan terhadap dunia pendidikan tidak akan
banyak artinya jika tidak menyentuh berbagai peraturan perundang-undangan yang
mengisi substansi dari tuntutan-tuntutan tersebut. Meningkatkan partisipasi
masyarakat dalam program pendidikan tidak mungkin berhasil jika hanya dilakukan
dengan menjelaskan makna, manfaat, dan tujuan pendidikan. Masyarakat harus
diperkenalkan dengan berbagai peraturan perundangan-undangan yang mengatur
dunia pendidikan dan dibiasakan untuk sensitif dan kritis terhadap berbagai
peraturan perundang-undangan tersebut.
Pendidikan sebagai Fungsi Negara
Dengan kontrol yang
kuat terhadap kebijakan-kebijakan dan praktik-praktik pendidikan, maka tidaklah
sulit bagi negara untuk memposisikan pendidikan sebagai fungsi negara. Fungsi
ini dapat dilihat pada eratnya keterkaitan antara elemen-elemen pendidikan
publik di satu negara dengan prinsip-prinsip yang berlaku di negara terseut. Singkat
kata, ada kaitan erat antara pendidikan publik dan negara.
Keterkaitan tersebut
digambarkan dengan jelas oleh Eliot (1959:1049) ketika dia menulis: “public
education is a state function, and school districts are creatures of the state”
(pendidikan publik adalah sebuah fungsi negara dan sekolah-sekolah yang ada di
berbagai daerah adalah kreasi negara).
Untuk memahami
pendidikan sebagai fungsi negara, diperlukan pengenalan terhadap berbagai
tuntutan yang saling bertentangan yang ditempatkan padanya. Namun yang
terpenting, tentang saja, diperlukan pemahaman tentang apa itu negara (state).
BAB IV
PROSPEK KAJIAN POLITIK
PENDIDIKAN
Sebagai suatu bidang
kajian yang relatif baru dan merupakan pengembangan dari bidang kajian yang
telah mapan (established), yaitu kajian politik dan kajian pendidikan,
kelayakan politik pendidikan (the politics of education) sebagai suatu
kajian banyak dipertanyakan, baik oleh sarjana ilmu politik maupun oleh para
sarjana ilmu pendidikan. Mereka secara kritis memperanyakan kelayakan bidang
kajian baru ini dari segi metodologis, fokus, dan manfaatnya. Sikap kritis
tersebut menyebabkan lambatnya pengakuan terhadap politik pendidikan sebagai
suatu bidang kajian tersendiri yang terpisah dari disiplin induknya. Sebelum
mendiskusikan signifikansi, relevansi, dan prospek kajian politik pendidikan,
pada bagian ini terlebih dahulu akan dijelaskan beberapa pengertian yang
berkembangdi seputar kajian politik pendidikan.
Wacana Politik Pendidikan
Pemahaman dan
penjelasan para penulis tentang politik pendidikan cukup beragam, baik dalam
pengguanaan kata-kata maupun dalam substansi.menurut Archer (1985:39), politik
pendidikan (the politics of education) harus dibedakan dengan politik
kependidikan (educational politics). Ia menjelaskan bahwa istilah educational
politics mencakup semua interaksi sosial yang memengaruhi pendidikan. Jika
politik pendidikan membicarakan aspek-aspek politik dan pendidikan, politik
kependidikan adalah “upaya-upaya (sadar dan terorganisasi) untuk memengaruhi
input, proses, dan output pendidikan, baik melalui legislasi, kelompok penekan
atau aksi politik, eksperimentasi, investasi pribadi, transaksi lokal, inovasi
internal atau propaganda”.
Perkembangan Kajian Politik Pendidikan
Perhatian para sarjana
terhadap hubungan antara pendidikan dan politik relatif masih baru. Menurut
catatan Mitchell, aplikasi analisis politik terhadap studi kependidikan
sepenuhnya terabaikan sebelum tahun 1950-an. Walaupun selama lebih dari dua
ribu tahun para filosof, mahasiswa politik, dan pendidik telah mendiskusikan
dan berargumentasi tentang hubungan antara keduanya. Plato dan Aristoteles,
misalnya, sangat sensitif terhadap peran yang dimainkan oleh pendidikan dalam
berbagai masalah kenegaraan. Mereka telah
memberikan kontribusi penting dalam perkembangan filsafat politik
tentang peranan pendidikan.
Perkembangan kajian
politik pendidikan banyak dipengaruhi oleh persepsi para pendidik terhadap
politik dan karakteristik sistem politik yang berlaku. Perkembangannya dipicu
oleh sistem politik yang semakin terbuka dan pemahaman bahwa politik adalah
bagian tak terpisahkan dari proses alokasi nilai-nilai dalam masyarakat.
Pemahaman ini pertama kali diperkenalkan oleh salah seorang penggagas Teori
Sistem, David Easton (1965), dalam karyanya tersebut Easton (1965:50)
menjelaskan bahwa politik adalah “authoritativeallocation of values which
have become widely desired and the explicit goals of public policy”
(alokasi otoritatif dari nilai-nilai yang dikehendaki secara luas dan merupakan
tujuan-tujuan eksplisit kebijakan publik).
Minat Kajian Politik Pendidikan
Meskipun keterkaitan
antara pendidikan dan politik memiliki sejarah yang panjang, secara umum dapat dikatakan
bahwa perhatian para ilmuwan politik terhadap persolan-persoalan kependidikan
dan perhatian para ilmuwan politik terhadap aspek-aspek politik pendidikan
berkembang sangat lamban. Pada 1957, salah seorang ilmuwan politik terkemuka
asal Amerika Serikat, David Easton, mengungkapkan ketidakpuasannya
terhadapketidakpedulian para ilmuwan politik terhadap isu-isu kependidikan:
“Lebih dari dua ribu tahun yang lalu [pada era Plato dan Aristoteles]
pendidikan menduduki posisi penting dalam pemikiran politik; sekarang, dalam
ilmu politik secara keseluruhan, perhatian terhadap persoalan pendidikan telah
lenyap” (1965:304).
Berkembang atau
tidaknya minat para ilmuwan politik untuk mengkaji persoalan pendidikan
tampaknya juga dipengaruhi oleh sistem pendidikan yang berlaku dan tingkat
kepekaan masyarakat terhadap masalah-masalah kependidikan. Dalam disiplin ilmu
pendidikan, salah satu alasan kurangnya minat terhadap politik pendidikan
adalah karena para peneliti pendidikan tidak tertarik pada penyelenggaraan kegiatan
persekolahan dalam konteks sosial yang lebih luas. Sebagian besar mereka hanya
membatasi riset-riset mereka pada persoalan-persoalan yang ada di ruang kelas.
Perkembangan politik
pendidikan sebagai bidang penelitian dan pengajaran adalah fenomena menarik
karena beberapa alasan. Pertama, hal itu menandakan perubahan
fundamental yang telah dan terus terjadi dalam ilmu-ilmu politik dan studi
kependidikan. Selain terjadi kecenderungan terus-menerus dalam spesialisasi
riset, telah timbuh pula kesadaran dalam ilmu-ilmu sosial dan dalam ilmu
pendidikan tentang keterkaitan antara institusi-institusi dan proses-proses
sosial. Perkembangan minat terhadap politik pendidikan di banyak negara juga
terkait dengan perkembangan perhatian publik dan kerusuhan tentang pendidikan
dan problem sosial terkait, semuanya telah memberi kontribusi dalam menjadikan
pendidikan menjadi isu besar dalam politik dan menarik perhatian ilmuwan
politik dan para pendidik terhadap masalah-masalah kependidikan.
Fokus dan Manfaat Kajian
Sebagai suatu bidang
akademik yang perkembangannya relatif baru, kajian politik pendidikan
tertinggal jauh dari kajian bidang lain. Ketertinggalan ini terjadi
dimana-mana, bahkan di Amerika, dimana kajian ilmiah dalam berbagai bidang
berkembang sangat pesat. Namun demikian, harus diakui bahwa kajian politik
pendidikan telah berkembang sangat pesat, dengan dua fokus utama, yaitu
fungsi-fungsi politik pendidikan dan aspek-aspek pendidikan dan politik.
Salah satu tugas utama
kajian politik pendidikan, menurut Easton (1957:305), adalah mengungkapkan
cara-cara yang digunakan oleh kelompok-kelompok kependidikan (educational
groups) dalam upaya mereka untuk menciptakan lingkungan yang kondusif bagi
pertumbuhan dan perkembangan mereka dan untuk memaksimalkan alokasi dana dari
pemerintah untuk mereka. Dalam kaitan ini, Easton (1957:305) menambahkan, studi
politik pendidikan juga diharapkan dapat mengungkapkan cara-cara yang ditempuh
oleh pemerintah dalam menggunakan pendidikan sebagai alat untuk memperkuat posisinya
dan untuk mempersatukan masyarakat. Dengan fokus kajian tersebut, lanjut
Easton, kajian politik pendidikan akan dapat juga mengungkapkan peranan yang
dimainkan oleh pendidikan dalam persaingan kekuasaan (competition for power),
baik secara internal maupun esksternal. Menurut Easton, diantara berbagai
institusi dan praktik yang secara signifikan mempengaruhi transformasi sistem
politik adalah pendidikan. Salah satu tujuan penelitian politik pendidikan,
menurutnya, adalah bagaimana signifikansi peran pendidikan dalam transformasi
politik.
Menurut Harman
(1974:1), studi politik pendidikan dapat meningkatkan pemahaman kita tentang
kehidupan politik, tentang berbagai proses dan lembaga pendidikan, dan tentang
interaksi antara pendidikan dan politik dalam masyarakat yang berbeda-beda.
Selain itu lanjutnya, studi tentang politik pendidikan juga dapat memudahkan
kita dalam menangani berbagai persoalan krusial yang ada dalam dunia
pendidikan, baik di negara-negara industri maupun di negara-negara berkembang.
Dalam studinya tentang
relasi negara dan pendidikan di negara-negara kapitalis, Dale (1989: ix)
mengatakan bahwa “studi tentang relasi antara negara dan pendidikan dapat
membantu memahami kaitan antara berbagai kebutuhan dunia industri dan isu-isu
praktis keseharian di sekolah”.
Problem Pengakuan
Sebagaimana bidang
kajian lainnya, politik pendidikan memberi banyak tantangan dan kemungkinan,
tetapi juga menghadapi sejumlah masalah. Pada masa awal perkembangannya,
politik pendidikan mengahadapi dua masalah yang saling terkait. Pertama,
mendapatakan pengakuan sebagai satu bidang kajian, baik dalam ilmu politik
maupun dalam ilmu pengetahuan. Kedua, perkembangan sense of identity
dan community sesama sarjana yang terlibat dalam penelitian dan
pengajaran bidang ini. Salah satu penghambat bagi adanya pengakuan terhadap
keontetikan kajian politik pendidikan pada masa awal perkembangannya, menurut
Harman (1974), adalah konservatisme di kalangan ilmuwan. Dia menjelaskan bahwa
mendaptkan pengakuan dalam disiplin-disiplin yang sudah established bukanlah
hal yang mudah bagi sebuah bidang kajian baru, karena selalu saja ada vested
interest yang akan terganggu. Dari dua problem tersebut, menurut Harman
(1974: 19-20), problem kedua tampaknya lebih banyak menghambat perkembangan
politik pendidikan sebagai satu bidang kajian. Problem pertama lebih mudah
diatasi jika problem kedua teratasi.
Tantangan Kedepan
Setelah mengalami masa
perkembangan yang cukup berarti, hambatan-hambatan di atas berangsur-angsur
dapat diatasi. Namun demikian, hambatan-hambatan barus terus bermunculan dan
menghambat para guru dan administratur pendidikan untuk lebih mendalami
aspek-aspek dan dimensi politik pendidikan dan menghambat upaya-upaya untuk
memahami tekanan-tekanan dan realitas politik yang baru. Hambatan-hambatan baru
tersebut, menutut Harman (1980:4), meliputi:
1. Problem Makna (the problem of meanings)
Persoalan makna tampaknya akan
selalu muncul dalam wacana politik pendidikan dan dapat menghambat pemahaman
tentang hubungan antara pendidikan dan politik. Menurutnya, tidak ada solusi
riil bagi masalah makna ini, khususnya apabila kata kunci tersebut digunakan
dengan pengertian populer dan teknis yang berbeda-beda. Namun kita bisa
mengetahui bahwa masalah makna ini ada dan dapat menghambat komunikasi. Kita
juga dapat berupaya untuk membuat maksud dari pembicaraan kita jelas dan
menjelaskan dalam pengertian apa kita mengguanakn suatu perkataan. Inilah yang
dapay kita lakukan untuk menghindari hambatan makna dalam memahami
persoalan-persoalan di seputar kajian politik pada umumnya dan politik
pendidikan khususnya.
2. Kurang perspektif (the lack of perspective)
Ketika seorang pendidik berbicara
bahwa sebuah kebijakan pendidikan bersifat politis, da tidak mampu menjelaskan
maksud dari pernyataan tersebut, maka
dia bisa saja mempertunjukkan rasa frustasi atau bahkan sinisme. Perilaku
seperti ini menurutnya, berawal dari
kurangnya pemahamn tentang dunia politik dan hubungan antara politik dan
pendidikan. Tentu saja kurangnya perspektif seperti ini tidak mengagetkan
karena keterkaitan antara berbagai proses dan institusi politik dan pendidikan
di semua masyarakat sangat kompleks dan sering kali tidak kasat mata. Namun
demikian, harus dikatakan bahwa tanpa perspektif tentang berbagai persoalan
tersebut akan sulit bagi para guru dan administrator pendidikan untuk memahami
berbagai tampilan politik dalam dunia pendidikan. Dengan kata lain, kurangnya
perspektif tentang hubungan antara politik dan pendidikan akan menghambat kita
tentang umsur-unsur politik dalam dunia pendidikan.
3. Keraguan tentang Investigasi Sistematik (doubt
about systematic investigation)
Hambatan ketiga ini berkaitan
dengan keraguan tentang fisibilitas dan desiribilitas investigasi sistematik
tentang perilaku dan proses politik dapat dieksplorasi secara sistematis dan
sama halnya dengan proses kependidikan, meraka ragu apakah keputusan-keputusan
yang ada merupakan tugas yang tepat bagi seorang pendidik atau seorang peneliti
pendidikan. Harman yakin bahwa investigasi terhadap politik pendidikan tidak
hanya diperlukan (desirable), tetapi juga layak untuk dijalankan.
Dikatakan desirable karena penelitian politik pendidikan dapat memahami
secara lebih baik berbagai konteks pekerjaan para pendidik, berbagai hambatan
yang ada, dan berbagai kemungkinan dan cara untuk menangani dan mencapai
perubahan. Dikatakan fesible karena penelitian politik pendidikan telah
memiliki konsep-konsep, pendekatan dan metode penelitian. Harus diakui bahwa
metode-metode penelitian tersebut relatif berbeda dengan metode-metode yang
digunakan dalam penelitian empiris pendidikan tradisional.
4. Perasaan ketidakberdayaan profesional (a sense of
professional powerlesness)
Ketika seorang
profesional pendidikan menilai suatu keputusan bersifat politis, biasa jadi
perilaku ini muncul dari rasa frustasi dan ketidakberdayaan. Sungguh tidak
dapat disangkal bahwa banyak para profesional pendidikan meraasa terancam. Hal
ini bisa terjasi manakala iklim opini publik memberi perlawanan terhadap
pendidikan, pemerintah mengurangi anggaran pendidikan, dan sekolah-sekolah
dipersalahkan atas berbagai kekurangan. Selain itu, para profesioanl pendidikan
merasa khawatir mereka akan kehilangan kekuasaan. Para guru bisa saja merasa
terancam oleh domiasi peran orang tua terhadap majelis sekolah dan pengaruh
kelompok-kelompok komunitas konservatif yang bersifat ideologis.
Dengan demikian,
ketidakberdayaan profesional dapat melahirkan hambatan baru. Para profesioanl
bisa saja menjadi patah semangat, terganggu, frustasi; mereka tidak mampu
bekerja sebagaimana apa yang menurut mereka harus mereka kerjakan karena sering
kal keputusan-keputusan dibuat oleh orang lain. Karena tidak dibuat oleh para
profesional atas dasar landasan teknis, lalu keputusan-keputusan tersebut
dibuat oleh kelompok nonprofesional atas landasan politis. Dan reaksi dari
sebagian profesional adalah membuat garis pemisah antara dunia profesionalisme
dan dunia politik, dan memantapkankegiatan mereka dalam wilayah
profesionalisme.
Prospek di Indonesia
Pengalaman
panjang bangsa Indonesia, mulai dari era kolonial hingga era reformasi,
memperlihatkan betapa pendidikan dan politik saling berkait kelindan.
Keterkaitan tersebut dapat dilihat dari karaktersitik berbagai kebijakan
pendidikan yang dibuat oleh rezim yang berkuasa.
Pengalaman
bangsa Indonesia pada masa awal kemerdekaan memperlihatkan betapa penting arti
pendidikan bagi bangunan politik dan sebaliknya, betapa penting arti politik
bagi perkembangan pendidikan. Sebagian besar pejabat pengisi struktur
lembaga-lembaga politik adalah kaum terdidik dan political will pemerintah atau
founding fathers kita saat itu adalah faktor kunci yang melahirkan Sistem
Pendidikan Nasional Indonesia.
Pengalaman
bangsa Indonesia pada reformasi juga sangat jelas memperlihatkan kaitan antara
persoalan kependidikan dan persoalan politik. Krisis pendidikan yang melanda
negeri ini tentu saja tidak dapat dipisahkan dari krisis politik yang terjadi.
Begitu juga sebaliknya, krisis politik yang terjadi di negeri ini sulit
diisahkan dari realitas sistem pendidikan yang ada di negeri ini.
Salah
satu pengalaman tersebut dengan jelas memperlihatkan bahwa persoalan-persoalan
kependidikan sulit diahami dengan baik tanpa melihat konteks politik dari
persoalan-persoalan tersebut. Begitu juga sebaliknya, berbagai persoalan
politik sulit dipahami tanpa melihat konteks pendidikan dari
persoalan-persoalan tersebut. Semua pengalaman tersebut membuktikan bahwa
aktivitas politik tidak hanya terjadi dalam organisasi-organisasi politik atau
di gedung parlemen, tetapi juga terjadi di sentra kehidupan masyarakat lainnya,
termasuk di lembaga-lembaga pendidikan.
Pengalaman
di atas memperlihatkan bahwa para ilmuwan pendidikan di negeri ini membutuhkan
wawasan politik yang memadai untuk dapat menjelaskan berbagai persoalan
kependidikan yang ada. Begitu juga sebaliknya, para ilmuwan politik di negeri
ini membutuhkan wawasan kependidikan untuk dapat menjelaskan berbagai persoalan
politik dengan baik kepada masyarakat. Di atas semua itu perspektif masyarakat
tentang pendidikan perlu diperluas, dari hanya terbatas pada lingkup lingkungan
sosial politik. Pada konteks inilah kita pantas optimis bahwa pada masa-masa
mendatang, kajian-kajian politik pendidikan akan semakin dibutuhkan sehingga
kajian-kajian dalam bidang ini akan berkemang pesat.
BAB V
PROBLEM METODOLOGI PENELITIAN
POLITIK PENDIDIKAN
Proses
kemunculan politik pendidikan sebagai suatu bidang kajian, di kalangan ilmuwan
pendidikan maupun ilmuwan politik telah melalui pergumulan metodologis yang
panjang dan penuh perdebatan. Tanpa penjelasan dan landasan metodologis yang
memadai, ternyata sangat sulit bagi para peminat kajia politik pendidikan utuk
meyakinkan audiens mereka tentang relevansi, siginfikansi dan prospek
perkembangan idang kajian ini sehingga perdebatan metodologis terus berjalan
berlarut-larut.
Hingga
awal 1970-an, kajian politik pendidikan belum memiliki basis metodologi yang
mantap, walaupun pada saat itu penelitian yang terfokus pada bidang kajian ini
cukup berkembang. Kelemahan metodologi tersebut dipengaruhi oleh karakteristik
dan keterbatasan metodologis dalam tradisi studi politik dan kependidikan yang
menjadi induknya.
Selain
oleh adanya keterbatasan metodologis pada disiplin induknya, yaitu ilmu
pendidikan dan ilmu politik, perkembangan metodologis kajian politik pendidikan
juga dipersulit oleh munculnya kecenderungan untuk memisahkan administrasi
pendidikan dari politik pada awal 1900-an. Saat itu ada suatu keyakinan yang
kuat dalam masyarakat Barat, khususnya di Amerika Serikat, bahwa pendidikan
adalah fungsi khusus pemerintahan yang terpisah dari politik dan semata-mata
berpijak pada nilai-nilai profesional.
Perkembangan Penelitian Politik Pendidikan
Perkembangan
penelitian politik pendidikan mendapat momentum pertama pada abad pertengahan
1960-an. Pada masa tersebut penelitian politik pendidikan mendapat dorongan
perubahan dari faktor-faktor eksternal. Pada tingkat praktis, para ilmuwan
sosial dari berbagai disiplin ilmu politik, memberikan stimulus yang signifikan
terhadap penelitian kebijakan pendidikan. Mereka menerapkan berbagai model
penelitian yang mereka miliki untuk meneliti isu-isu dan persoalan-persoalan
kependidikan.
Perkembangan
penelitian dalam suatu bidang kajian juga banyak dipengaruhi oleh situasi
sosial-politik yang berkaitan dengan karakteristik bidang kajian tersebut. Hal
ini juga terjadi pada perkembangan penelitian politik pendidikan. Perkembangan
penelitian dalam bidang kajian ini ternyata berkaitan dengan
perubahan-perubahan yang terjadi dalam sistem politik yang tertutup ke sistem
politik yang lebih terbuka. Jika sistem politik tertutup membatasi aktivitas
penelitian, sistem politik terbuka memberikan peluang lebih luas bagi aktivitas
penelitian.
Berbagai
kritik yang ditujukan pada studi-studi politik pendidikan mendorong para
peneliti di bidang ini untuk mengembangkan metodologi yang lebih baik. Mereka
mulai mempertanyakan persoalan-persoalan dasar tentang kajian ilmiah. Dalam mendesain
rencana kerjanya, setiap peneliti harus memilih, secara sengaja meupun tidak
sengaja, satu dari berbagai alternatif prosedur yang tersedia. Disadari atau
tidak disadarinya, pilihan awal tersebut membuka jalan bagi
penelitian-penelitian yang aka dilaksanakan. Berikut ini akan dibahas beberapa
perkembangan metodologis yang mewarnai penelitian politik pendidikan.
Survei dan Studi Kasus
Ada
beberapa peneliti lainnya yang lebih menyukai studi kasus (a case approach),
dimana semua karakteristik pendidikan politik yang relevan dalam suatu
masyarakat, instuisi, kelompok kepentingan, atau serangkaian kejadian, dikaji
secara mendalam. Studi kasus bisa jadi hanya terfokus pada satu periode
kepemimpinan sekolah atau mencakup sistem pendidikan di suatu kota atau negara.
Jumlah variabel dan kompleksitas hubungan yang akan dioalh dalam studi kasu se
kecil apapun menjadi besar. Studi jeis ini kebanyakan menggunakan data
nonkuantitatif yang diperoleh dari interview dengan informan dan observasi
peneliti.
Secara
praktis semua fase study kasus menuntut kompetensi tinggi dalam penelitian
karena metode ini dihadapkan pada resiko tingkat reabilitas yang rendah dan
terjadinya kesalahan dalam sampling. Namun demikian sering diargumentasikan
bahwa temuan-temuan tentang pola variabel, walaupun berdasarkan pada satu
kasus, mengandung validitas lebih baik ketimbang temuan-temuan tentang variabel
yang sama apabila diperlakukan terisolasi dari interaksi-interaksi yang
terpola.
Semakin
banyak peneliti yang mengominasikan kelebihan-kelebihan dan meminimalisasi
keterbatasan-keterbatasan pendekatan survei dan pendekatan studi kasus. Ada
yang mulai dengan melakukan serangkaian pilot studi kasus sebagai dasar
pemilihan variabel untuk kemudian dikaji dengan pendekatan survei. Ada juga yang
mengguanakan survei sebagai studi awal untuk memilih variabel untuk
mempersiapkan studi kasus yang mendalam (James 1966: 40-42).
Analisis Sistem dan Studi Politik
Tren
metodologi penelitian pendidikan pada awal 1970-an banyak dipengaruhi oleh tren
metodologi disiplin induknya, yaitu ilmu politik. Karena semakin meningkatnya
pengguanaan analisis sistem dalam ilmu-ilmu sosial, khususnya dalam ilmu
politik, tidak mengherankan bahwa nilai potensialnya juag harus diteliti oleh
para mahasiswa politik pendidikan. Namun demikian, penggunaan analisis sistem
dalam studi politik pendidikan belum memuaskan para penggunanya.
Bersama
survei dan studi kasus, analisis sistem telah menandai perkembangan awal
metodologi studi-studi politik pendidikan. Sikap kritis dan kemampuan para
peneliti dalam bidang kajian ini melakukan improvisasi telah turut memacu
perkembangan metodologi.
Beberapa Prioritas
Dalam
rangka meminimalisasi berbagai problem metodologis yang ada dalam studi politik
pendidikan, maka perlu dikembangkan prioritas-prioritas dalam bidang kajian
ini. Menurut Harman (1980:11-12), ada enam prioritas utama yang mendesak untuk
dilakukan. Pertama, studi dengan penekanan pada teori dan pengembangan
teori. Studi ini meliputi eksplorasi hubungan menyeluruh antara politik dan
pendidikan; analisis terhadap konsep-konsep dan kerangka yang tersedia dalam
ilmu politik dan bidang terkait dan menilai kemungkinan penerapannya untuk
penelitian politik pendidikan; menyusun kerangka dan asumsi-asumsi penelitian
secara eksplisit dan mengembangkan kerangka dan konstruksi teoritis yang baru
untuk menangani problem khusus dalam politik pendidikan.
Kedua,
melakukan studi komparatif. Selain bersifat cross-national dan mengkaji
aktor, proses dan perilaku dalam konteks hukum yang berbeda, kajian politik
pendidikan hendaknya juga membandingkan aspek-aspek sistem kebijakan pendidikan
dengan wilayah lain dari aktivitas pemerintah.
Ketiga,
membuat summary atau melakukan studi interpretatif. Diperlakukan
studi-studi yang merangkum temuan-temuan dari kajian politik pendidikan,
menginterpretasi hasil-hasilnya, dan menjelaskan secara jelas dan relatif
sederhana implikasinya pada praktik dan penelitian lebih lanjut.
Keempat,
melakukan studi dengan fokus utama pada tingkat makro. Tidak diragukan bahwa
studi kasus memiliki nilai penting. Namun di satu pihak, ada kebutuhan untuk
mengetahui sejauh mana kasus-kasus tertentu dalam skala besar memiliki kesamaan
Kelima,
melakukan studi tentang pemerintah pusat dan pendidikan.diperlukan studi mendetail
tentang struktur Departemen Pendidikan Nasional atau karakteristik proses
kebijakan pendidikan di tingkat nasional.
Keenam,
melakukan studi tentang persoalan di seputar kebijakan. Studi ini diperlukan
untuk mengembangkan analisis tentang dampak kebijakan pendidikan terhadap
kualitas dan jenis pelayanan pendidikan yang disediakan, dan kehidupan peserta
didik dan anggota masyarakat.
Dengan
memfokuskan kajian politik pendidikan pada enam prioritas sebagaimana
disarankan oleh harman di atas, selain dapat memperkuat basis metodologi
kajian-kajian mereka, para peminat kajian politik pendidikan juga dapat membuat
konteks studi mereka lebih bervariasi dan mengembangkan dimensi-dimensi praktis
dari hasil-hasil yang mereka yang mereka capai, agar kajian politik tidak
berada di menara gading (ivory tower), tetapi benar-benar memberi
kontribusi bagi upaya-upaya pengembangan sistem pendidikan.
Langkah ke Depan
Pada
masa lalu perkembangan penelitian terhambat oleh para praktisi pendidikan yang
berpendapat bahwa pendidikan pulik tidak bersifat politis dan memiliki struktur
pengelolaan yang terpisah dan independen. Pada 1960-an, berbagai kekuatan
sosial yang memengaruhi sekolah telah mengubah situasi ini dan menciptakan
sistem politik pendidikan yang lebih terbuka. Ha tersebut memungkinkan para
peneliti mengkaji perubahan-perubahan yang terjadi dalam hubungan antara
penguasa pendidikan dan lingkungannya, dan dalam jaringan internal sistem (intra-system-networks).
Sebagian besar peneliti telah terkosentrasi pada konsekuensi alokatif dan
interaksi politik-siapa mendapatkan apa, kapan, dan bagaimana (who get what,
whwn and how).
Meskipun
penelitian dalam kajian politik pendidikan sudah cukup berkembang, masih
diperlukan pengembangan dari analisis mikro ke analisis makro. Dalam banyak
hal, persoalan-persoalan politik pendidikan yang kompleks dan bervariasi tidak
mungkin dapat dipahami melalui survei statistik berskala besar. Namun demikian,
studi kasus tidak memungkinkan kita melakukan generalisasi. Dibutuhkan kombinasi
yang tepat antara pendekatan survei dan pendekatan kasus.
Meskipun
mengalami masa perkembangan cukup panjang, berbagai prolem metodologis yang
telah didiskusikan dalam tulisan ini mengingatkan kita bahwa hingga awal
1970-an kajian politik pendidikan adalah wilayah kajian yang masih dalam kajian
tahap perkembangan yang belum memiliki basis empiris dan kemajuan metodologis
yang khas dan telah teruji. Namun, pada saat yang sama ada optimisme bahwa
kemajuan metodologis kajian ini akan berkembang.
Pada
masa-masa mendatang, ada beberapa fokus yang dapat dikembangkan dalam kajian
politik pendidikan, yaitu menyangkut studi komparatif terhadap pengaruh negara,
manajemen atau kontrol terhadap pendidikan; sejarah peraturan
perundang-undangan pendidikan; studi banding atas negara-negara yang memiliki
pemerintah kesatuan (unitary government), kontrol fiskal sentralistik
dan sentralisasi kurikulum;dampak proses hukum terhadpa pendidikan; hubungan
antara kurikulum dan minat serta paltihan guru dengan nilai-nilai politik
masyarakat.
Untuk
konteks keindonesiaan, kajian politik pendidikan dapat dikembangkan dengan
beberapa fokus yang berkaitan erat dengan perkembangan mutakhir kehidupan
sosial dan politik di negeri ini, seperti aktivitas dan kultur politik
mahasiswa, gerakan guru, otomisasi dan desentralisasi pendidikan, anggaran
pendidikan, otonomi kampus, dan lain-lain. Para peminat kajian politik
pendidikan di Indonesia perlu memprioritaskan kajian-kajian teoritik untuk
mengembangkan dasar-dasar teori bagi kajian politik pendidikan di Indonesia
perlu memprioritaskan kajian-kajian politik pendidikan; menggalakkan studi
komparatif cross-national; meninjau dan menganalisis hasil-hasil
penelitian yang telah ada; dan mengembangkan studi-studi terhadap isu-isu
pendidikan yang bersifat makro maupun mikro. Di era otonomi pendidikan seperti
sekarang ini, perlu digalakkan studi tentang kebijakan, otoritas dan peran
kependidikan pemerintah pusat dan daerah; dan analisis tentang latar belakang,
isi, aktor, implementasi, dan implementasi dari berbagai kebijakan pendidikan,
baik yang dibuat untuk skala nasional maupun yang dibentuk untuk skala daerah.
BAB VI
VOTER EDUCATION,
KOMUNIKASI POLITIK DAN DEMOKRASI
Perkataan voter (orang yang menggunakan hak suara
atau pemilih) berasal dari kata vote (hak suara) yang berarti “ekspresi
opini yang disampaikan secara formal”. Kata kerjanya adalah to vote
(memberikan hak suara) yang berarti “memberikan hak suara untuk memutuskan,
menerima, atau menolak sesuatu”.
Education (pendidikan)
adalah proses pelatihan agar pesertanya dapat mengembangkan dan menggunakan
kemampuan mental, moral, dan fisiknya dalam melksanakan sesuatu. Tujuan utama
pendidikan adalah “mengajarkan ank didik untuk dapat berpikir secara rasional,
independen, dan baik” (Callahan & Clark 1977: 76). Proses pendidikan
melibatkan aspek penyadaran (self realization), pemberian ilmu
pengetahuan (self-knowledge), dan pengembangan potensi diri (self-development).
Dari pengertian di atas dapat dipahami bahwa Voter
Education (pendidikan pemilih) adalah suatu upaya sadar untuk memberikan
pengetahuan dan pemahaman kepada para pemilih tentang berbagai hal yang ada
kaitannya dengan hak suara mereka dalam pemilu, sehingga mereka dapat memberikan
hak suara sesuai dengan pertimbangan-pertimbangan rasional dan ahti nurani,
tanpa merasa terpaksa atau tertekan.
Pemilu dan Demokrasi
Pemilu meruapakan sarana untuk mewujudkan kadaulatan
rakyat dalam rangka keikutsertaan rakyat dalam penyelenggaraan pemerintahan
negara berdasarkan Pancasila dan Undang-Udang Dasar 1945 (UU 3/1999, Konsideran
b & Pasal 1 (1). Kata “demokrasi” berasal dari dua kata Yunani, yaitu demos
berarti rakyat dan cratein yang berarti memerintah. Jadi dilihat dari
asal katanya, demokrasi berasal dari rakyat (of the people),
dilaksanakan oleh rakyat (by the people), dan untuk kepentingan rakyat (for
the people) (Soemantri:7)
Dalam sistem demokrasi, rakyat memiliki kedudukan yang
sangat penting. Rakyat dierikan hak secara penuh dalam kehidupan politik maupun
ekonomi dan hak-hak tersebut dilihat oleh pimpinan negara sebagai bagian dari
hak asasi manusia.
Mengapa Voter Education?
Hasil riset yang dilakukan oleh Asia Foundation 1998
menyimpulka bahwa kurang demokratisnya pelaksanaan pemilu di Indonesia pada
masa Orde Baru, selain disebabkan oleh banyaknya penyelewengan yang dilakuakan
oleh pemerintah dan parpol kontestan pemilu, juga disebabkan oleh rendahnya
pemahaman masyarakat tentang berbagai hal yang ada kaitannya dengan pelaksanaan
pemilu dan demokrasi (Rita, 1999:1). Hasil riset ini menyadarkan kita bahwa
harus ada upaya-upaya kependidikan untuk mempersiapkan masayarakat Indonesia
menjelang pelaksanaan pemilu.
Pemahaman seluruh rakyat tentang nilai-nilai demokrasi
dan kesadarannya dalam berpartisipasi dalam pelaksanaa pemilu yang demokratis,
jujur, dan adil, adalah taruhan bagi tegaknya Indonesia baru yang berdasarkan
para kedaulatan rakyat. Program Voter Education diharapkan dapat
membantu seluruh rakyat mendapatkan informasi sejelas-jelasnya dan
sebanyak-banyaknya tentang penyelenggaraan pemilu agar mereka dapat menentukan
pilihan dan terhindar dari praktik-praktik pemaksaan dan money politics,
maupun melalui cara-cara lainnya yang ertentangan dengan nilai-nilai luber dan
jurdil. Memberikan pengetahuan sebanyak-banyaknya pada masayarakat tentang
aspek-aspek penyelenggaraan pemilu berarti menumbuhkan keberanian mereka untuk
menyatakan dan menggunakan haknya sesuai dengan hati nurani mereka dan sesuai
dengan cita-cita kedaulatan rakyat.
Komunikasi dalam Voter
Education
Secara etimologis kata komunikasi berasal dari bahasa
latin communicare yang artinya “menyebarkan, memberitahukan” (Meinanda,
1981:1). Dari penertian ini dapat dipahami bahwa komunikasi adalah suatu upaya
berbagai untuk mencapai kebersamaan dengan melalui sistem lambang-lambang,
tanda-tanda, atau tingkah laku.
Program Voter Education bertujuan “menyebarkan
berbagai informasi yang ada akitannya dengan penggunaan dan hak suara rakyat
dalam penyelenggaraan pemilu dan “memberitahukan” kepada rakyat.
Karena peserta program Voter Education adalah
masyarakat luas, komunikasi yang terjadi adalah komunikasi massa. Namun
demikian, komunikasi interpersonal dan komunikasi kelompok juga dapat terjadi,
tergantung pada situasi yang dihadapi oleh para pelatih Voter Education
di lapangan. Program ini dapat diterapka dalam empat bentuk kegiatan:
penyuluhan, pemasangan spanduk, penyebaran leaflet, dan penempelan stiker.
Dengan empat bentuk kegiatan ini, penyampaian pesan-pesan Voter Education
diharapkan berlangsung secara transaksional (multiarah).
Program Voter Education akan berhasil jika para
pelatih (komunikator) menyesuaikan komunikasinya dengan the image dari
para peserta (komunikan), yaitu memahami kepentingan, kebutuhan, kecakapan,
pengalaman, kemampuan berpikir, kesulitan, dan sebagainya. Singkatnya, para
pelatih Voter Education harus dapat menjaga kesemestaan alam mental yang
terdapat pada para peserta Voter Education.
Untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, kegiatan
komunikasi perlu memerhatikan etika-etika. Menurut Malik (1999:3), ada tiga
etika yang perlu diperhatiakn dalam komunikasi. Pertama, menumbuhkan sikap
percaya melalui komunikasi yang terbuka, jujur, dan mendalam. Kedua,
mengembangkan sikap sportif dengan menyampaikan pesan-pesan deskriptif,
berorientasi pada masalah, spontan, empati, dan tidak kemutlak-mutlakkan.
Ketiga, mengembangkan sikap terbuka dengan cara siap menerima informasi dari
manapun.
Hanya dengan profesionalisme program Voter Education
dapat berjalan efektif. Efektif atau tidaknya program Voter Education di
seluruh Indinesia akan besar artinya bagi suksesnya pemilu dan tegaknya demokrasi
di negeri tercinta ini.
ANALISIS
Sebagaimana yang telah disebutkan dalam buku ini bahwa
pendidikan dan politik adalah dua elemen penting dalam sistem sosial politik di
setiap negara, baik negara maju maupun negara berkembang. Keduanya sering
dilihat sebagai bagian-bagian yang terpisah, yang satu sama lain tidak memiliki
hubungan apa-apa. Padahal, keduanya bahu-membahu dalam proses pembentukan
karakteristik masyarakat di suatu negara.
Kaitannya dalam pengertian ini, penulis juga mengutip
salah satu pendapat Buchori mengatakan
bahwa para mahasiswa harus belajar tentang tanggung jawab warga negara (civic
responsibility). Dia menegaskan “Inilah yang saya maksud dengan ketidakterpisahan
antara politik dan pendidikan”. Para mahasiswa lanjutnya, tidak boleh acuh tak
acuh terhadap segala sesuatu yang berlangsung di luar lingkungan perguruan
tinggi
Hubungan antara
pendidikan dan politik bukan sekedar hubungan saling mempengaruhi, tetapi juga
hubungan fungsional. Lembaga-lembaga dan proses pendidikan menjalankan sejumlah
fungsi politik yang signifikan. Mungkin yang terpenting dari fungsi-fungsi
tersebut bahwa sekolah-sekolah dan lembaga pendidikan lainnya menjadi agen-agen
sosialisasi politik.
Pengalaman bangsa
Indonesia pada masa awal kemerdekaan memperlihatkan betapa penting arti
pendidikan bagi bangunan politik dan sebaliknya, betapa penting arti politik
bagi perkembangan pendidikan. Sebagian besar pejabat pengisi struktur lembaga-lembaga
politik adalah kaum terdidik dan political will pemerintah atau founding
fathers kita saat itu adalah faktor kunci yang melahirkan Sistem Pendidikan
Nasional Indonesia.
Untuk konteks
keindonesiaan, kajian politik pendidikan dapat dikembangkan dengan beberapa
fokus yang berkaitan erat dengan perkembangan mutakhir kehidupan sosial dan
politik di negeri ini, seperti aktivitas dan kultur politik mahasiswa, gerakan
guru, otomisasi dan desentralisasi pendidikan, anggaran pendidikan, otonomi
kampus, dan lain-lain. Para peminat kajian politik pendidikan di Indonesia
perlu memprioritaskan kajian-kajian teoritik untuk mengembangkan dasar-dasar
teori bagi kajian politik pendidikan di Indonesia perlu memprioritaskan
kajian-kajian politik pendidikan; menggalakkan studi komparatif cross-national;
meninjau dan menganalisis hasil-hasil penelitian yang telah ada; dan
mengembangkan studi-studi terhadap isu-isu pendidikan yang bersifat makro
maupun mikro.
KESIMPULAN
Dari pemikiran tersebut
dapat ditarik beberapa pemahaman. Pertama, adanya kesadaran tentang
hubungan erat antara pendidikan dan politik. Kedua, adanya kesadaran
akan peran penting pendidikan dalam menentukan corak dan arah kehidupan
politik. Ketiga, adanya kesadaran tentang adanya pemahaman tentang
hubungan antara pendidikan dan politik. Keempat, diperlukan pemahaman
yang lebih luas tentang politik. Kelima, pentingnya pendidikan kewarganegaraan (civic
eduations).
Pengalaman bangsa
Indonesia pada reformasi juga sangat jelas memperlihatkan kaitan antara
persoalan kependidikan dan persoalan politik. Krisis pendidikan yang melanda
negeri ini tentu saja tidak dapat dipisahkan dari krisis politik yang terjadi.
Begitu juga sebaliknya, krisis politik yang terjadi di negeri ini sulit
diisahkan dari realitas sistem pendidikan yang ada di negeri ini.
Di era otonomi
pendidikan seperti sekarang ini, perlu digalakkan studi tentang kebijakan,
otoritas dan peran kependidikan pemerintah pusat dan daerah; dan analisis
tentang latar belakang, isi, aktor, implementasi, dan implementasi dari
berbagai kebijakan pendidikan, baik yang dibuat untuk skala nasional maupun
yang dibentuk untuk skala daerah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar